DISTRIBUSI DAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN
PEREKONOMIAN INDONESIA PADA ERA REFORMASI
KELOMPOK 1
NAMA NPM
ANA MARIA
GENOVIVA 20211685
NUKE
PERMATA SARI 25211270
PRANKI
ROBIN PURBA 25211553
SILMI
SABILLA 26211764
UNIVERSITAS GUNADARMA
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
Setiap
negara selalu berusaha mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk mencapai
tujuan tersebut, setiap negara melaksanakan pembangunan ekonomi. Salah satu
ukuran berhasilnya pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi. Hampir semua
negara di dunia pasti melaksanakan pembangunan ekonomi. Hal ini karena
pembangunan ekonomi merupakan upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan ekonomi merupakan usaha untuk menaikkan dan mempertahankan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dengan tetap memperlihatkan tingkat pertumbuhan penduduk disertai adanya perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Dalam proses pembangunan ekonomi, pemerintah secara sadar dan terencana mengadakan perubahan-perubahan ke arah peningkatan taraf hidup masyarakat.
Pembangunan ekonomi mencakup dimensi yang lebih luas, terpadu, dari berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain pembangunan ekonomi tidak hanya mengejar tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif, tetapi lebih menekankan pada perubahan yang mendasar dalam perekonomian suatu negara.
Pembangunan ekonomi merupakan usaha untuk menaikkan dan mempertahankan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dengan tetap memperlihatkan tingkat pertumbuhan penduduk disertai adanya perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Dalam proses pembangunan ekonomi, pemerintah secara sadar dan terencana mengadakan perubahan-perubahan ke arah peningkatan taraf hidup masyarakat.
Pembangunan ekonomi mencakup dimensi yang lebih luas, terpadu, dari berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain pembangunan ekonomi tidak hanya mengejar tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif, tetapi lebih menekankan pada perubahan yang mendasar dalam perekonomian suatu negara.
Pemerataan hasil pembangunan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Ketidakmerataan juga menjadi masalah dunia. Menurut data World Development Report 2006, 15,7% penduduk Indonesia pada tahun 1996 berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat menjadi 27,1 % pada tahun 1999. Gini Index untuk pemerataan penghasilan Indonesia adalah 0,34, hal ini menunjukkan adanya ketidakmerataan penghasilan yang cukup besar di Indonesia. Gini index merupakan ukuran tingkat penyimpangan distribusi penghasilan, Gini index diukur dengan menghitung area antara kurva Lorenz dengan garis hipotesis pemerataan absolut. Gini Index untuk pemerataan kepemilikan tanah di Indonesia mencapai 0,46, nilai ini menunjukkan adanya ketidakmerataan kepemilikan tanah yang cukup besar .
Pemerataan hasil
pembangunan di samping pertumbuhan ekonomi perlu diupayakan supaya pembangunan
dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemerataan pendidikan dan
pemerataan fasilitas kesehatan merupakan salah satu upaya penting yang
diharapkan meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dengan menciptakan sumber
daya manusia yang berkualitas.
BABII
ISI
ALOKASI APBN UNTUK DISTRIBUSI PEMERATAAN
A.SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA
Arti Sistem
Bahwa suatu sistem muncul adalah didasari oleh usaha manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebutuhan manusia sangat beragam dan tak terbatas. Sebagai contoh, kebutuhan manusi akan peningkatkan pengetahuan-muncul sistem pendidikan; kebutuhan manusia akan sandang, pangan atau papan-muncul sistem ekonomi; hubungan dengan orang lain akan terbentuk-sistem pengaturan, sistem sosial; kebutuhan untuk berkelompok dalam masyarakat tertentu-sistem masyarakat; dan kebutuahan akan kesejahteraan masyarakat-muncul sistem politik. Kemudian kebutuhan dari warga negara dalam mengatur-tatanan kehidupan berbangsa dan keputusan-keputusan politik yang diilhami oleh struktur sosial dan culture, akan terbentuk suatu sistem pemerintahan negara.
Untuk itu dalam suatu sistem sosial (mekanisme jaringan-hubungan dalam suatu atau yang dianut masyarakat) akan membentuk suatu sistem pemerintahan dan sistem ekonomi suatu bangsa.
Sistem adalah seperangkat elemen yang membentuk suatu kegiatan (satu kesatuan yang menyeluruh) yang saling berinteraksi secara teratur-berhubungan satu dengan yang lain dan saling tergantung untuk mencapai tujuan bersama.
Perkembangan Sistem Perekonomian
Tujuan dari sistem perekonomian merupakan usaha untuk mengatur pertukaran barang dan jasa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena politik ekonomi merupakan bagian politik nasional, maka dalam hal ini kebijakan politik sering didasarkan pada masalah ekonomi, dan kebijakan ekonomi seringkali didasarkan pada masalah politik.
1. Perkembangan sistem politik dan pemikiran ekonomi
Struktur sosial feodal-kekuasaan raja-bangsawan yang absolut-diktaktor, menimbulkan kesengsaraan masyarakat. Dalam masyarakat yang demikian kebebasan berpikir masyarakat terpasung dan tertindas. Timbul pendobrakan terhadap kekuasaan raja yang absolut, ditandai dengan konsep kontrak sosial “social contract” yang salah satu asasnya adalah kesadaran bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung prinsip-prinsip keadalian yang universal, berlaku untuk segala zaman serta semua manusia. Munculah semangat kebebasan, persamaan dan persaudaraan.
Pada gilirannya mempengaruhi perubahan sosial dan cultural masyarakat, ditandai dengan adanya kebebasan berpikir yang berkembang amat pesat dan sangat mempengaruhi gagasan dalam kehidupan politik dan ekonomi.Bersamaan dengan berkembang konsep negara baru timbul kebutuhan untuk mengatur kehidupan ekonominya.
Pada awalnya muncul Renaissance (1350-1600) dan reformasi (1500-1650), lalu aufklaerung “pencerahan” (1650-1800). Kemudian pada abad ini muncul pemikiran ekonomi merkantilisme “negara makmur-emasnya banyak-keuangan kuat sebagai simbul kekayaan dan kemakmuran” yang memunculkan kolonialisme, dimana negara kuat secara ekonomi apabila negara lain miskin.1776 muncul faham psyokrat oleh Quesney bersamaan dengan Adam Smith yang menentang gagasan merkantilisme-kolonial dan feodalisme dan yang menentang hambatan-hambatan pemerintah. David home dan David Ricardo dengan faham ekonomi produksi-konsumsi-pertukaran/ perda-gangan yang mendukung semangat “laizzez faire, laizzer passer”-identik dengan kebebasan-kebutuhan, muncul faham dan sistem kapitalisme.1818-1883, Karl Marx yang menentang ajararn kapitalisme-penindasan rakyat kecil dan buruh. Pandangan Marx terhadap negara bahwa negara itu hanya alat untuk menindas-mengatur kelas lainnya. Perlu adanya revolusi masa-sosialis/komunis untuk pemerataan hak dan kewajiban.
Pemikiran-pemikiran dibidang ekonomi akan mempengarui bentuk-bentuk pemerintahan. Yang kemudian berkembang faham demokrasi.
2. Pembagian sistem ekonomi
Sistem menunjuk kepada suatu kumpulan tujuan, gagasan, kegiatan yang dipersatukan oleh beberapa bentuk saling hubungan dan adanya ketergantungan yang terartur dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Sedang sistem perekonomian adalah sistem sosial atau kemasyara-katan dilihat dalam rangka usaha keseluruhan sosial itu untuk mencapai kemakmuran.
Dalam pengertian sistem sosial terkandung unsur :
a. Tujuan bersama dengan segala harapannya, dalam hubungannya dengan perekonomian, jelas tujuan bersama itu dimaksudkan ialah kemakmuran masyarakat.
b. Seperangkat nilai yang melekat pada tujuan bersama tersebut menciptakan pengikat yang mempersatukan anggota masyarakat dalam usaha bersama menurut cara-cara tertentu.
c. Sikap dasar dan pengertian tentang hak dan kewajiban, yang membentuk pola tingkah laku dan tindakan individu maupun kelompok satu dengan yang lain.
d. Otoritas, kepemimpinan, struktur kekuasaan untuk mengarhkan usaha bersama, memilih atau menetapkan alternatif-alternatif bagi alat-alat yang dipergunakan dan mempersatukan seluruh anggota masyarakat untuk bersama-sama mempergunakan alat-alat tersebut.
Kemakmuran masyarakat terutama menyangkut kegiatan yang paling esensial dari kehidupan sistem, yaitu produksi barang dan jasa, dan bagaimana barang dan jasa itu didistribusikan diantara individu dan kelompok dalam masyarakat, dipertukarkan dan dikonsumsi, yang semuanya berkaitan erat dengan konsep pemilikan yang berlaku, kekuasaan pemerintahan negara dll.
Dalam pembentukan suatu sistem, tidak lepas dari pada pengaruh falsafah sosial pada sistem perekonomian. Falsafah sistem sosial disadari atau tidak diturunkan dari pandangan yang spesifik tentang manusia. Falsafah-falsafah itu dikenal dengan individualisme dan sosialisme.
Sistem perekonomian mengenal berbagai bentuk di berbagai negara sepanjang sejarah. Dalam klasifikasi ini tergantung pada cara bagaimana sistem itu membuat keputusan-keputusan dasar produksi, distribusi dan pertukaran serta konsumsi.
Selain faktor produksi, sistem ekonomi juga dapat dibedakan dari cara sistem tersebut mengatur produksi dan alokasi. Sebuah perekonomian terencana (planned economies) memberikan hak kepada pemerintah untuk mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi hasil produksi. Sementara pada perekonomian pasar (market economic), pasar lah yang mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi barang dan jasa melalui penawaran dan permintaan.
Alokasi dana pembangunan untuk pemerataan
pendidikan dan pemerataan fasilitas kesehatan akan lebih menjamin tercapainya
pemerataan dalam jangka panjang. Kebijakan alokasi dana untuk pendidikan dan
kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pemerataan pendidikan serta pemerataan
fasilitas kesehatan. Biaya pendidikan yang lebih murah dan tersedianya
fasilitas kesehatan yang lebih baik dan lebih terjangkau akan langsung
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Dalam bidang pendidikan , UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 secara tegas menyatakan
“Negara memprioitaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dari belanja Negara serta dari anggaran belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhna penyelenggaraan pendidikan nasional “Menurut definisi yang
berlaku umum , anggaran pendidikan adalah keseluruhan sumber daya baik dalam
bentuk uang maupun barang yang menjadi input dan dimanfaatkan untuk kepentingan
penyelenggaraan pendidikan . Segenap sumber daya tersebut bisa berupa investasi
untuk pembangunan prasarana dan sarana (gedung , sekolah ,ruang kelas ).Biaya
operasinal penyediaan buku dan peralatan serta gaji guru . Setiap komponen
sumber daya berkaitan langsung dengan keberlangsungan pelayanan pendidikan
sehingga harus dihitung dengan satu kesatuan pembiayaan pendidikan .
Namun kewajiban
konstituional pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%
dari APBN dan APBD berjumlah dipenuhi sepenuhnya hingga saati ini . Buktinya
APBN tahun 2008 yang telah disahkan pada Rapat Parnipira DPR menetapkan alokasi
anggaran pendidikan hanya 12 persen .Dalam RAPBN 2008 alokasi untuk anggaran
pendidikannya sebesar 12% jauh dibawah ketentuan UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 dan
UU No 20 tahun 2009 tentang Sistem Pendidikan Nasional , bahwa anggaran
pendidikan sebesar 20 persen . Formulasi anggaran pendidikan 20% kemudian
diutuskan oleh Pemerintahan dari DPR dalam UU 20/2003 tentang Sisdaas , bahwa
gaji pendidik dari biaya kedinasan tidak termasuk dalam anggaran 20% , bahwa
pemenuhan amanah konstitusi dengan cara bertahap seperti dalam penjelasan pasal
49 ayat 1 UU sisdiknas tidak dibenarkan .
Kenyataanya APBN
2007 pun tidak sesuai dengan amanah kontitusi Anggaran pendidikan masih berada
pada level 11.8% karenanya MK dalam Putusan No.026/PUUIV/2007 kembali
menegaskan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 menyangkut anggaran
pendidikan adalah bertentengan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat .Pemerintahan menangulangi kembali pelanggaran
konstitusi jadi dengan tidak tercapainya anggaran pendidikan 20%berarti
pemerintahan dan DPR bersama-sama mengaikan keputusan MK .
Rupanya keputusan MK
itu tidak mampu juga mengatakan kemauan politik para penentu kebijakan di
Negara ini . Pengabaian juga terjadi terhadap keputusan raker yang telah
disepakati antara komisi X DPR RI dengan tujuan terhadap keputusan rajer yang
telah disepakati antara komisi X DPR RI dengan tujuan mencari cabinet Indonesia
Bersatu , yaitu Menkra Kesra , Mendiknas , Menteri Dalam Negeri , Menteri Pendahayagunaan
dari Aparatur Negara .
Sementara itu
realisasinya tahun 2004 anggaran pendidikan masih sekitar 5.5% dari APBN atau
sekitar RP.20,5 Triliun . Dari meningkat menjadi Rp.24,6 Triliun tahun 2005 .
Pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9,7
persen dan dalam APBN 2007 anggaran untuk sector pendidikan hanya sebesar 11,8
persen dan APBN 2008 hanya mengalokasikan 12% nilai ini setara dengan
Rp.1,4Triliun dari total nilai anggaran Rp.854,6 triliun .
Alokasi dana untuk kesehatan yang hanya
2,3% dari pengeluaran pemerintah sangat kecil. Di negara maju alokasi dana
untuk kesehatan jauh lebih besar, Korea Selatan mengalokasikan 10,08%
pengeluaran pemerintah untuk kesehatan. Padahal fasilitas kesehatan yang lebih
merata dapat meningkatkan produktifitas sumber daya manusia.
Sumber daya manusia yang sehat akan
menghasilkan sumber daya manusia yang produktif. Dengan produktivitas yang
tinggi, suatu negara akan memperoleh keunggulan kompetitif (competitive
advantage) . Keunggulan komparatif dinamis dirintis oleh Michael E. Porter
(1990) dan Paul Krugman (1980).
Michael E. Porter menjelaskan bahwa dalam
era persaingan global, suatu bangsa/negara yang memiliki competitive advantage
of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki 4 faktor penentu
(attribute) yang digambarkan sebagai suatu diamond (diamond strategy). Michael
E. Porter menjelaskan bahwa tidak ada korelasi langsung antara 2 faktor
produksi yaitu sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang
murah, yang dimiliki oleh suatu negara yang dimanfaatkan menjadi keunggulan
daya saing dalam perdagangan internasional. Banyak negara di dunia yang jumlah
tenaga kerjanya yang sangat besar yang proporsional dengan luas negaranya
tetapi lemah dalam daya saing perdagangan internasional. Peran pemerintah
sangat mendukung dalam peningkatan daya saing selain faktor produksi yang
tersedia dalam berbagai kebijakan makronya, dalam hal ini menciptakan sumber
daya manusia yang berkualitas.
Bagi pembangunan ekonomi, kualitas buruh
adalah lebih penting, dengan mengadakan pemerataan pendidikan dan fasilitas
kesehatan diharapkan pekerja Indonesia lebih berkualitas dan produktif.
Produktifitas ini yang diharapkan mampu meningkatkan perekonomian. Sumber daya
manusia yang berkualitas juga diharapkan cepat menyerap penguasaan teknologi.
Melalui program pemerataan pendidikan dan fasilitas kesehatan akan menciptakan
sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu mendukung pembangunan. Sumber
daya manusia yang produktif merupakan modal yang paling menentukan dalam
keberhasilan pembangunan dalam jangka panjang.
PEREKONOMIAN DI INDONESIAIndonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi). Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini.
Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I (Era SBY- JK) =
(2004-2009)
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan
ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim
investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit
pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Menurut
Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi
kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah
revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Selain
itu, pada periode ini pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang
dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya PNPM Mandiri
dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang
ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal ini
disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan
ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di
SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi.
Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan
kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi
pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang
investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang
kondusif.
Namun,
selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada masa
keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi.
Sejak tahun
2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada tahun
2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi SBY
yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan kemudian ditambahkan
dengan pro environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan
dari 36,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya,
hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun
waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY yang pro growth yang
mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas dari
pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat yang
memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang tentu
saja banyak membuka lapangan kerja baru. Memasuki tahun ke dua masa
jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa master plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3 EI). Melalui
langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan Indonesia
sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara UsS
14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS
4,0-4,5 triliun.
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II (Era SBY–BOEDIONO) =
(2009-2014)
Pada periode
ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat kebijakan
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :
- BI rate
- Nilai tukar
- Operasi moneter
- Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu lintas modal.
Dengan
kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Hampir
tujuh tahun sudah ekonomi Indonesia di tangan kepemimpinan Presiden SBY dan
selama itu pula perekonomian Indonesia boleh dibilang tengah berada pada masa
keemasannya. Beberapa pengamat ekonomi bahkan berpendapat kekuatan ekonomi
Indonesia sekarang pantas disejajarkan dengan 4 raksasa kekuatan baru
perekonomian dunia yang terkenal dengan nama BIRC (Brazil, Rusia, India, dan
China).
Krisis
global yang terjadi pada tahun 2008 semakin membuktikan ketangguhan
perekonomian Indonesia. Di saat negara-negara superpower seperti Amerika
Serikat dan Jepang berjatuhan, Indonesia justru mampu mencetak pertumbuhan yang
positif sebesar 4,5% pada tahun 2009.
Gemilangnya
fondasi perekonomian Indonesia direspon dunia internasional dengan menjadikan
Indonesia sebagai salah satu negara pilihan tempat berinvestasi. Dua efeknya
yang sangat terasa adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai rekor
tertingginya sepanjang sejarah dengan berhasil menembus angka 3.800. Bahkan
banyak pengamat yang meramalkan sampai akhir tahun ini IHSG akan mampu menembus
level 4000.
Indonesia
saat ini menjadi ekonomi nomor 17 terbesar di dunia. “Tujuan kami adalah untuk
menduduki 10 besar. Kami sangat optimistis karena IMF pun memprediksi ekonomi
Indonesia akan mengalahkan Australia dalam waktu kurang dari satu dekade ke
depan,” tutur SBY dalam sebuah acara.
PEMERATAAN PEMBANGUNAN
Pembangunan ekonomi nasional perlu mengedepankan aspek
pemerataan dan tidak hanya fokus pada mengejar target pertumbuhan ekonomi
(agregat). Tentunya, ketika pemerataan pembangunan ekonomi dapat dilakukan, maka
sejumlah persoalan seperti disparitas regional, urbanisasi, kemiskinan,
kesenjangan sosial dan persoalan sosial lainnya akan dapat lebih teratasi.
Peranan infrastruktur transportasi dalam pemerataan pembangunan sangatlah
penting. Jalan, jembatan, penerbangan perintis, pelabuhan dan transportasi laut
berperan sangat strategis untuk memfasilitasi mobilisasi barang, modal dan
manusia antar daerah-pulau di wilayah Indonesia. Bagaimana menggeser paradigma
pembanguanan nasional yang menitikberatkan kawasan Barat menuju Tengah dan
Timur Indonesia menjadi prioritas dalam pemerataan pembangunan ekonomi
nasional.
Urgensi pemerataan pembangunan ke seluruh penjuru Nusantara sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir ini telah semakin menguatkan sinyalnya. Bahkan di kawasan Barat Indonesia persoalan konektivitas masih berlangsung. Sebagai sebuah contoh aktual, antrean truk yang ingin menyeberang ke Pulau Sumatra mengular sudah hampir seminggu lamanya hingga sepanjang 2,5 kilometer di Tol Merak, Banten, menuju ke pintu gerbang pelabuhan. Berdasarkan informasi dari PT ASDP, antrean truk menuju Pelabuhan Merak tersebut disebabkan karena sedikitnya kapal pengangkut dan terbatasnya kapasitas pelabuhan untuk menampung antrean kendaraan angkutan.
Sementara itu, kemacetan sesungguhnya merupakan pemandangan rutin yang menghiasi seluruh jalan di Jakarta setiap pagi dan petang hari. Menurut sensus penduduk tahun 2010, Jakarta telah dihuni oleh 9.588.198 penduduk. Angka ini naik sangat drastis dari data tahun 2007 yang sebesar 7.552.444. Banyaknya pelaju dari Depok, Bekasi, Tangerang, Bogor, dan bahkan dari Cirebon yang bekerja di Jakarta menambah parahnya kemacetan di Ibu Kota. Kenyataan ini kian menguatkan betapa kuatnya gravitasi perekonomian Jakarta.
Secara sederhana, tingkat pembangunan di sebuah daerah berhubungan positif dengan akselerasi permintaan akan pembangunan lebih lanjut di daerah tersebut. Misalnya, gagasan pembangunan jalan Tol Tanjung Priok-Cikarang (Tanjung Karang) yang diprediksi bakal mampu mengurai kemacetan Jakarta hingga 30 persen. Sementara itu, jalur kereta api di Sumatra nyaris tak tersentuh peta transportasi nasional.
Akibatnya, daerah dengan tingkat pembangunan yang tinggi akan terus menuntut pembangunan lebih lanjut, sementara daerah yang tertinggal juga akan semakin tertinggal. Daerah-daerah satelit di sekeliling Jakarta selama ini tumbuh hanya sebagai wilayah domisili semata yang tidak diimbangi dengan pelebaran aktifitas perekonomian secara memadai. Pemusatan aktifitas perekonomian di Jakarta pun kian lama kian meningkatkan daya akumulasi sumberdaya perekonomian secara terkonsentrasi. Apabila konsentrasi sumberdaya ini semakin tinggi, maka biaya kesempatan untuk melakukan aktifitas perekonomian di luar Jakarta pun akan semakin meningkat.
Pada tataran nasional, potret Jakarta dan kota-kota satelitnya pun masih tercermin dengan jelas. Tak bisa dipungkiri bahwa kekuatan gravitasi ekonomi Jawa-Sumatra-Bali merupakan penyebab utama segala permasalahan tersebut. Hingga tahun 2005, BPS mencatat bahwa Pulau Jawa-Bali masih menyumbang 60.09 persen terhadap PDB Nasional. Adapun Sumatra 22,1 persen, Kalimantan 9,11 persen, Sulawesi 3,93 persen, Nusa Tenggara 1,42 persen, dan Papua 1,59 persen. Pada tahun 2010, kontribusi PDRB Jawa-Bali terhadap PDB nasional hanya turun dengan sangat tipis menjadi 59,38 persen, sementara peningkatan secara tipis juga tercatat pada Sulawesi menjadi 4,49 persen, Kalimantan 9,23 persen, Nusa Tenggara 1,44 persen, dan Papua 1,77 persen.
Namun demikian, data menunjukkan bahwa pos pendapatan daerah meningkat signifikan hanya di pos bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam (SDA). Perlu menjadi sebuah "early warning" dalam hal ini, yaitu apakah gravitasi ekonomi daerah ini menguat semata-mata karena intensifikasi eksploitasi SDA daerah ataukah karena kreatifitas yang mulai mewujud? Upaya menggenjot pendapatan melalui eksploitasi SDA, sebagaimana mewarnai perekonomian era Orde Baru, sudah tak layak lagi ditempuh. Sejumlah negara maju memberikan contoh yang baik bagaimana negara mereka dikembangkan melalui kebijakan industrialisasi yang bertahap dan terarah.
Sejalan dengan diskusi sebelumnya, kita perlu secara konsisten berupaya untuk membangun magnet-magnet perekonomian lain di daerah luar Jawa dan Sumatra. Magnet yang apabila dianalogikan dalam ilmu fisika selayaknya merupakan kumparan elektromagnetik yang digerakkan oleh pelaku-pelaku ekonomi daerah, dan bukan semata-mata mengandalkan kekayaan alam tanpah pengolahan. Dengan demikian, momentum peningkatan kontribusi PDRB luar Jawa-Sumatra-Bali terhadap PDB Nasional, setipis apapun itu, dapat dipandang sebagai secercah harapan bahwa potensi perekonomian daerah perlu dirorong untuk lebih berkembang. Hal ini juga dapat menjadi pencetus penguatan gaya gravitasi riil ekonomi daerah-daerah di luar Jawa-Sumatra-Bali.
Di samping pembangunan magnet-magnet perekonomian di daerah luar Jawa dan Sumatra, pembangunan konektivitas antar-wilayah domestik dalam menumbuhkan daya saing dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi merupakan langkah yang patut mendapat dukungan. Tujuan konektivitas domestik adalah mempercepat pertumbuhan perekonomian dan memperkecil disparitas antar-wilayah. Pembangunan magnet perekonomian di luar Jawa dan Sumatra dapat menjadi "pull factor" di daerah yang secara simultan bersinergi dengan konektivitas antar-wilayah sebagai katalis "push factor" dari Jawa-Bali.
Ketika berbicara masalah daya saing, selain infrastruktur, peningkatan kualitas tenaga kerja jelas berperan penting. Secara implisit namun tegas, hal ini merupakan amanat bagi kita semua bahwa perekonomian kita tidak boleh lagi menggantungkan diri pada kekayaan alam, serta harus dikelola berdasarkan daya kreatifitas dan penciptaan nilai tambah.
Pengembangan magnet perekonomian, konektivitas domestik, dan proses transformasi struktural dalam penciptaan nilai tambah harus didasarkan pada reorientasi kenyataan geografis Indonesia. Pembangunan jembatan Ampera di Sungai Musi sejatinya merupakan sebuah penanda betapa perekonomian Indonesia jauh-jauh hari telah diarahkan kepada perekonomian maritim. Dengan demikian, salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah agar upaya mewujudkan rencana-rencana di atas dilandaskan pada kesadaran bahwa Indonesia merupakan untaian kekayaan sumber daya alam dan ketahanan sumber daya manusia yang dihubungkan oleh lautan dangkal yang terkaya dan terluas di dunia. Oleh karena itu, mempercepat realisasi program konektivitas di dalam dan antar-pulau akan membuat kawasan Tengah dan Timur Indonesia akan lebih berkembang.
Urgensi pemerataan pembangunan ke seluruh penjuru Nusantara sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir ini telah semakin menguatkan sinyalnya. Bahkan di kawasan Barat Indonesia persoalan konektivitas masih berlangsung. Sebagai sebuah contoh aktual, antrean truk yang ingin menyeberang ke Pulau Sumatra mengular sudah hampir seminggu lamanya hingga sepanjang 2,5 kilometer di Tol Merak, Banten, menuju ke pintu gerbang pelabuhan. Berdasarkan informasi dari PT ASDP, antrean truk menuju Pelabuhan Merak tersebut disebabkan karena sedikitnya kapal pengangkut dan terbatasnya kapasitas pelabuhan untuk menampung antrean kendaraan angkutan.
Sementara itu, kemacetan sesungguhnya merupakan pemandangan rutin yang menghiasi seluruh jalan di Jakarta setiap pagi dan petang hari. Menurut sensus penduduk tahun 2010, Jakarta telah dihuni oleh 9.588.198 penduduk. Angka ini naik sangat drastis dari data tahun 2007 yang sebesar 7.552.444. Banyaknya pelaju dari Depok, Bekasi, Tangerang, Bogor, dan bahkan dari Cirebon yang bekerja di Jakarta menambah parahnya kemacetan di Ibu Kota. Kenyataan ini kian menguatkan betapa kuatnya gravitasi perekonomian Jakarta.
Secara sederhana, tingkat pembangunan di sebuah daerah berhubungan positif dengan akselerasi permintaan akan pembangunan lebih lanjut di daerah tersebut. Misalnya, gagasan pembangunan jalan Tol Tanjung Priok-Cikarang (Tanjung Karang) yang diprediksi bakal mampu mengurai kemacetan Jakarta hingga 30 persen. Sementara itu, jalur kereta api di Sumatra nyaris tak tersentuh peta transportasi nasional.
Akibatnya, daerah dengan tingkat pembangunan yang tinggi akan terus menuntut pembangunan lebih lanjut, sementara daerah yang tertinggal juga akan semakin tertinggal. Daerah-daerah satelit di sekeliling Jakarta selama ini tumbuh hanya sebagai wilayah domisili semata yang tidak diimbangi dengan pelebaran aktifitas perekonomian secara memadai. Pemusatan aktifitas perekonomian di Jakarta pun kian lama kian meningkatkan daya akumulasi sumberdaya perekonomian secara terkonsentrasi. Apabila konsentrasi sumberdaya ini semakin tinggi, maka biaya kesempatan untuk melakukan aktifitas perekonomian di luar Jakarta pun akan semakin meningkat.
Pada tataran nasional, potret Jakarta dan kota-kota satelitnya pun masih tercermin dengan jelas. Tak bisa dipungkiri bahwa kekuatan gravitasi ekonomi Jawa-Sumatra-Bali merupakan penyebab utama segala permasalahan tersebut. Hingga tahun 2005, BPS mencatat bahwa Pulau Jawa-Bali masih menyumbang 60.09 persen terhadap PDB Nasional. Adapun Sumatra 22,1 persen, Kalimantan 9,11 persen, Sulawesi 3,93 persen, Nusa Tenggara 1,42 persen, dan Papua 1,59 persen. Pada tahun 2010, kontribusi PDRB Jawa-Bali terhadap PDB nasional hanya turun dengan sangat tipis menjadi 59,38 persen, sementara peningkatan secara tipis juga tercatat pada Sulawesi menjadi 4,49 persen, Kalimantan 9,23 persen, Nusa Tenggara 1,44 persen, dan Papua 1,77 persen.
Namun demikian, data menunjukkan bahwa pos pendapatan daerah meningkat signifikan hanya di pos bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam (SDA). Perlu menjadi sebuah "early warning" dalam hal ini, yaitu apakah gravitasi ekonomi daerah ini menguat semata-mata karena intensifikasi eksploitasi SDA daerah ataukah karena kreatifitas yang mulai mewujud? Upaya menggenjot pendapatan melalui eksploitasi SDA, sebagaimana mewarnai perekonomian era Orde Baru, sudah tak layak lagi ditempuh. Sejumlah negara maju memberikan contoh yang baik bagaimana negara mereka dikembangkan melalui kebijakan industrialisasi yang bertahap dan terarah.
Sejalan dengan diskusi sebelumnya, kita perlu secara konsisten berupaya untuk membangun magnet-magnet perekonomian lain di daerah luar Jawa dan Sumatra. Magnet yang apabila dianalogikan dalam ilmu fisika selayaknya merupakan kumparan elektromagnetik yang digerakkan oleh pelaku-pelaku ekonomi daerah, dan bukan semata-mata mengandalkan kekayaan alam tanpah pengolahan. Dengan demikian, momentum peningkatan kontribusi PDRB luar Jawa-Sumatra-Bali terhadap PDB Nasional, setipis apapun itu, dapat dipandang sebagai secercah harapan bahwa potensi perekonomian daerah perlu dirorong untuk lebih berkembang. Hal ini juga dapat menjadi pencetus penguatan gaya gravitasi riil ekonomi daerah-daerah di luar Jawa-Sumatra-Bali.
Di samping pembangunan magnet-magnet perekonomian di daerah luar Jawa dan Sumatra, pembangunan konektivitas antar-wilayah domestik dalam menumbuhkan daya saing dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi merupakan langkah yang patut mendapat dukungan. Tujuan konektivitas domestik adalah mempercepat pertumbuhan perekonomian dan memperkecil disparitas antar-wilayah. Pembangunan magnet perekonomian di luar Jawa dan Sumatra dapat menjadi "pull factor" di daerah yang secara simultan bersinergi dengan konektivitas antar-wilayah sebagai katalis "push factor" dari Jawa-Bali.
Ketika berbicara masalah daya saing, selain infrastruktur, peningkatan kualitas tenaga kerja jelas berperan penting. Secara implisit namun tegas, hal ini merupakan amanat bagi kita semua bahwa perekonomian kita tidak boleh lagi menggantungkan diri pada kekayaan alam, serta harus dikelola berdasarkan daya kreatifitas dan penciptaan nilai tambah.
Pengembangan magnet perekonomian, konektivitas domestik, dan proses transformasi struktural dalam penciptaan nilai tambah harus didasarkan pada reorientasi kenyataan geografis Indonesia. Pembangunan jembatan Ampera di Sungai Musi sejatinya merupakan sebuah penanda betapa perekonomian Indonesia jauh-jauh hari telah diarahkan kepada perekonomian maritim. Dengan demikian, salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah agar upaya mewujudkan rencana-rencana di atas dilandaskan pada kesadaran bahwa Indonesia merupakan untaian kekayaan sumber daya alam dan ketahanan sumber daya manusia yang dihubungkan oleh lautan dangkal yang terkaya dan terluas di dunia. Oleh karena itu, mempercepat realisasi program konektivitas di dalam dan antar-pulau akan membuat kawasan Tengah dan Timur Indonesia akan lebih berkembang.
Tujuan
Perencanaan :
1.
Standar pengawasan, yaitu mencocokan pelaksanaan dengan perencanaan
2.
Mengetahui kapan pelaksanaan dan selesainya suatu kegiatan
3.
Mengetahaui struktur organisasinya
4.
Mendapatkan kegiatan yang sistematis termasuk biaya dan kualitas
pekerjaan
5.
Memimalkan kegiatan-kegiatan yang tidak produktif
6.
Memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai kegiatan pekerjaan
7.
Menyerasikan dan memadukan beberapa subkegiatan
8.
Mendeteksi hambatan kesulitan yang bakal ditemui
9.
Mengarahkan pada pencapaian tujuan
10.
Menghemat biaya, tenaga dan waktu
Manfaat
Perencanaan
Adapun
manfaat dari perencanaan yaitu Manfaat Perencanaan :
1. Standar
pelaksanaan dan pengawasan
2.
Pemilihan sebagai alternatif terbaik
3.
Penyusunan skala prioritas, baik sasaran maupun kegiatan
4.
Menghemat pemanfaatan sumber daya organisasi
5.
Membantu manajer menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan
6. Alat
memudahakan dalam berkoordinasi dengan pihak terkait
7. Alat
meminimalkan pekerjaan yang tidak pasti
http://tugaskuliah-adit.blogspot.com/2011/04/perencanaan-pembangunan.html
Dokumen
perencanaan
1. Di
dalam sistem ini terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menjabarkan
rencana pembangunan, yaitu:
2. Rencana
Pembangunan Jangka Panjang, yang selanjutnya disingkat RPJP, adalah dokumen
perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun. RPJP nasional diatur dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007.
3. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah, yang selanjutnya disingkat RPJM, adalah dokumen
perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun.
4. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga, disebut juga Rencana Strategis
Kementerian/Lembaga (Renstra-KL), adalah dokumen perencanaan
kementerian/lembaga untuk periode 5 (lima) tahun.
5. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah, disebut juga
Renstra-SKPD, adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk
periode 5 (lima) tahun.
6. Rencana
Pembangunan Tahunan Nasional, disebut juga Rencana Kerja Pemerintah (RKP),
adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun.
7. Rencana
Pembangunan Tahunan Daerah, disebut juga Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD), adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
8. Rencana
Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga, disebut juga Rencana Kerja
Kementerian/Lembaga (Renja-KL), adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga
untuk periode 1 (satu) tahun.
9. Rencana
Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah, disebut juga Rencana Kerja
Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD), adalah dokumen perencanaan satuan
kerja perangkat daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
1. Pentingnya Distribusi Pendapatan
Banyak kerusuhan yang terjadi di berbagai
bagian dari negara kita pada periode terakhir ini. Sebagian memang karena
dipanaskan oleh situasi penyelenggaraan pemilu. Namun kalau kita
perhatikan secara seksama, ada fenomena tindakan yang selalu muncul dalam
setiap kerusuhan tersebut, yakni mendompleng pada kerusuhan untuk mencoba
membuat redistribusi aset secara tidak sah. Toko-toko dihancurkan, dibakar
dan dilempari. Sebagian barang-barangnya diambil.Mobil dan kendaraan yang
mewah dihancurkan. Berbagai kejadian tersebut menimbulkan kerugian yang
sangat besar bagi bangsa dan negara, tidak hanya secara materi, bahkan untuk
kasus 23 Mei 1997 di Banjarmasin misalnya selain korban materi berupa kerusakan
berbagai toko supermarkat dan hotel berbintang, juga jatuhnya korban nyawa yang
tidak sedikit, sampai mencapai 123 orang (Banjarmasin Post, 31 Mei 1997).
Menurut beberapa ahli, akar permasalahan
dari berbagai kerusuhan tersebut adalah pada adanya gap yang semakin
menyolok antara golongan berpunya dan golongan tidak berpunya. Kesenjangan
pendapatan yang timbul sudah berada pada tingkat yang memerlukan
perhatian dan tindakan penanggulangan yang bersungguh-sungguh. Manifestasi
dari kesepakatan bangsa yang dahulu melalui MPR menempatkan pemerataan sebagai
skala prioritas utama dalam pembangunan, perlu lebih dinampakkan dalam
berbagai tindakan nyata yang mengena pada sasarannya. Upaya pengentasan
kemiskinan yang telah banyak berhasil dalam menghilangkan problema
kemiskinan absolut, perlu diarahkan lebih intensif untuk juga menyelesaikan
problema kemiskinan relatif.
Menurut Todaro (1985) distribusi pendapatan
makin tidak merata dari tahun ke tahun. Banyak orang yang berpendapat
bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat telah gagal menghilangkan atau mengurangi
kemiskinan , terutama dalam kaitannya dengan konsep kemiskinan relatif. Trade
off antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pendapatan kemudian
menjadi polemik dan perbedaan pandangan para ahli dalam merumuskan berbagai
kebijaksanaan pembangunan. Sampai kemudian pada tahun 1971, Mahbub Ul-Haq,
seorang ekonom Pakistan menawarkan konsep yang tampaknya bisa menjembatani
perbedaan pendapat tersebut. Mahbub menyatakan bahwa selama ini kita
diajari untuk memperbaiki GNP sebagai suatu cara untuk mengatasi
kemiskinan.Menurutnya, sebaiknya kita putar keadaan ini dengan menghilangkan
kemiskinan sebagai suatu cara untuk meningkatkan GNP (Mahbub Ul-Haq, 1971).
Pembangunan wilayah pedesaan dan
pemberdayaan masyarakat pedesaan merupakan merupakan suatu konsep yang sejalan
dengan pemikiran Mahbub tersebut, karena kantong-kantong kemiskinan pada
umumnya berada di pedesaan.
Teori ekonomi klasik berkeyakinan bahwa
dalam jangka panjang, mekanisme pasar akan menciptakan pembangunan yang
seimbang antar berbagai wilayah, namun Gunnard Myrdal tidak sependapat dengan
hal tersebut. Menurut Myrdal (1953) bahwa dalam proses pembangunan terdapat
faktor-faktor yang akan memperburuk perbedaan tingkat pembangunan antar wilayah
dan antar negara. Di samping ada juga faktor-faktor yang dapat
memperbaikinya. Keadaan seperti ini terjadi sebagai akibat berlakunya
suatu proses sebab akibat yang disebutnya sebagai circular cummulative
causation.
Menurut Myrdal, pembangunan di daerah-daerah yang lebih maju akan menciptakan beberapa
keadaan yang akan menimbulkan hambatan yang lebih besar kepada daerah-daerah
yang lebih terkebelakang untuk berkembang.Keadaan-keadaan yang menghambat
pembangunan ini digolongkannya sebagaibackwash effect. Di samping
itu perkembangan di daerah-daerah yang lebih maju dapat menimbulkan
keadaan-keadaan yang akan mendorong perkembangan daerah-daerah yang lebih
miskin. Keadaan ini dinamakan sebagai spread effect, atau disebut juga sebagai trickle down effect. Pemberdayaanmasyarakat
pedesaan dimaksudkan untuk mempengaruhi dan memanipulasi keragaan
faktor-faktor tertentu, sehingga menciptakan situasi dan kondisi yang dapat
mencegah terjadinya backwash
effect, dan sebaliknya mendukung terjadinya spread effect.
Menurut Sukirno
(1985) di antara faktor-faktor yang akan
menimbulkan backwash effect adalah
:
1) Corak
perpindahan perpindahan penduduk dari daerah miskin ke daerah yang lebih
maju. Pada umumnya penduduk yang berpindah adalah tenaga kerja yang lebih
muda, mempunyai semangat dan etos kerja yang lebih tinggi dan tingkat
pendidikan yang lebih baik daripada yang tetap tinggal di daerah miskin.
2) Corak
pengaliran modal. Pada umumnya permintaan modal di daerah miskin kurang,
selain itu modal lebih terjamin dan menghasilkan di daerah yang lebih maju.
Pola dan kegiatan perdagangan didominasi oleh industri-industri dari daerah
yang lebih maju. Ini menyebabkan daerah miskin mengalami kesukaran untuk
mengembangkan pasar bagi produk-produk yang dihasilkannya.
3) Jaringan
pengangkutan jauh lebih baik di daerah yang lebih maju, sehingga kegiatan
produksi dan perdagangan mereka dapat diselenggarakan secara lebih efisien.
4) Sedangkan
faktor yang mendorong terjadinya spread effect adalah berupa
pertambahan permintaan dari daerah yang lebih kaya terhadap produksi dari
daerah yang lebih miskin. Permintaan tersebut terdiri dari permintaan
terhadap hasil pertanian, hasil industri rumah tangga dan hasil industri barang
konsumsi.Hasil-hasil tersebut merupakan komoditas utama bagi daerah yang lebih
miskin.
Hanya saja sayangnya spread effect ini
biasanya jauh lebih lemah daripadabackwash effect. Oleh karenanya,
apabila dibandingkan tingkat pembangunan di pedesaan (yang relatif miskin)
dengan perkotaan (yang relatif maju), makapembangunan yang tercapai di daerah
pedesaan selalu lebih lambat daripada di perkotaan. Dalam jangka panjang,
keadaan ini dapat memperburuk pola distribusi pendapatan, baik antar wilayah
maupun antar golongan masyarakat.
Pembangunan perlu menghiraukan dan
memperhitungkan pola kehidupan yang sedang berlangsung di
masyarakat. Kondisi ini harus diberi nilai dan jangan sekali-kali diubah
dengan cara perombakan. Kondisi masyarakat setempat perlu dihargai, yaitu
dengan cara apresiasi. Penghargaan dan pemberian nilai pada kondisi
kehidupan masyarakat tersebut, adalah suatu cara menyukseskan pengembangan
potensi masyarakat sesuai dengan yang diidamkan. Nilai positif
diefektifkan dan dikembangkan, sedangkan nilai yang dipandang negatif diblokir,
dan secara perlahan dihilangkan. Sementara itu nilai baru (inovatif)
diperkenalkan untuk dihargai masyarakat sebagai nilainya sendiri (Maskun, 1992).
Komunitas masyarakat dengan berbagai
aktifitas dan dinamikanya, berintegrasi dalam sistem nasional melalui apa
yang dinamakan sebagai tatanan penghantar (delivering system) dan
tatanan peraih (acquiring system). Tatanan penghantar menyediakan berbagai
aspek yang meliputi antara lain Iptek, informasi, sarana, pinjaman modal,
pelayanan dan jasa, yang merupakan kebutuhan utama dari tatanan peraih, yakni
masyarakat target pembangunan (Adjid, 1995).
Agar tatanan peraih benar-benar mampu
memanfaatkan apa yang ditawarkan oleh tatanan penghantar, yang sesungguhnya
memang menjadi bagian dari haknya, maka diperlukan proses perubahan perilaku
masyarakat agar dapat beradaptasi dengan lingkungan stategisnya, melalui
proses learning by doingyang dijalankan secara sinambung, dari
waktu ke waktu. Untuk menuju ke arah proses learning by doing ini,
potensi masyarakat perlu dibangkitkan. Keinginan mereka untuk memperbaiki
kehidupannya perlu ditumbuhkembangkan agar menjadi pemicu yang kuat menumbuhkan
semangat kewirausahaan (enterpreneurship).
Solusi penyelesaian problema dan alternatif
pengembangan usaha yang ditawarkan perlu menyentuh kepentingan masyarakat yang
mendasar, yang dapat dirasakan manfaatnya. Karena itu pembangunan
haruslah (Flavier, 1992):
1. Bersifat
sederhana, kalau masyarakat kurang mengerti, atau sosialisasi suatu proyek
kurang dilaksanakan, maka proyek akan gagal sebelum dilaksanakan.
2. Bersifat
ekonomis, tercakup dalam pengertian ini adalah sesuai dengan kemampuan dan
sumberdaya yang dikuasai masyarakat, serta ada insentif ekonomi yang dapat
dipetik langsung dari proyek tersebut.
3. Bersifat
praktis, sehingga masyarakat mudah menerapkannya.
4. Harus
dapat ditiru, sehingga dapat dicontoh oleh yang lain. Proyek
yang eksklusif sulit memberikan dampak yang nyata bagi pembangunan secara
meluas.
Dalam era globalisasi di mana informasi
semakin dapat masuk mencapai pelosok-pelosok serta kontak antara individu dan
wilayah menjadi lebih gampang, tampaknya terdapat kecenderungan bahwa golongan
dan wilayah yang lemah akan semakin terbenam dalam kemiskinannya, karena kalah
dan terdesak dalam persaingan pemanfaatan sumberdaya yang ada dengan golongan
dan wilayah lain yang lebih kuat dan berpunya. Karena itu pembangunan desa
haruslah dijadikan orientasi utama. Pembangunan desa ini mengawali
fokusnya pada upaya-upaya untuk pemberdayaan sumberdaya manusia, yakni
masyarakat desa itu sendiri. Berbagai kemampuan mereka yang
masih bersifat potensial perlu dibangkitkan.
Banyak program yang telah dilaksanakan
untuk membantu masayarakat miskin di pedesaan, bahkan jauh sebelum program IDT
diterapkan. Namun banyak di antara program tersebut yang tidak mampu
menjangkau sasarannya secaratepat. Hayami dan Kikuchi (1991) menemukan
fakta bahwa ekonomi pedesaan cenderung terpolarisasi ke arah stratifikasi
masyarakat, yang membagi masyarakat menjadi dua kelompok utama. Kedua
kelompok ini sangat berbeda peluangnya untuk berpartisipasi dan menikmati
kegiatan-kegiatan pembangunan. Kelompok yang kuat, karena penguasaan dan
kemampuan sumberdaya yang dimilikinya lebih baik, akan dapat menangkap
peluang-peluang dan kesempatan berusaha yang lebih baik pula, sementara yang
lemah selalu tersisih dalam persaingan. Bahkan tidak jarang kelompok yang
kuat mengatasnamakan kelompok yang lemah untuk mengeruk keuntungan, seperti
misalnya yang sering terjadi dalam pemanfaatan fasilitas pelayanan kredit bunga
bersubsidi dan bantuan input untuk produksi pertanian.
Kejadian-kejadian tersebut sebenarnya dapat
dihindarkan kalau kendala untuk ikut memasuki (barrier to entry)
berbagai program bantuan bagi golongan masyarakat miskin dapat
diminimalkan. Bentuk kendala ini bermacam-macam, dapat berupa kendala
internal, yakni kendala-kendala yang muncul akibat kelemahan-kelemahan pada
individu golongan masyakarakat miskin, adapula yang berupa kendala eksternal,
yaitu kendala-kendala yang muncul dari luar, misalnya berupa prosedur yang
asing, adanya biaya transaksi, keharusan menyediakan jaminan, dan berbagai
bentuk lainnya yang menyulitkan bagi golongan tak
berpunya. Namun menurut Flavier (1992) berdasarkan pengalamannya
di beberapa desa di Filipina dalam mengintroduksikan programPhilippine Rural
Reconstruction Movement (PRRM), bahwa masyarakat pedesaan itu
potensinya besar untuk berkembang, namun karakteristik problema dan kemampuan
mereka untuk menyelesaikan problema tersebut sangat unik dan khas, sehingga
pendekatan program secara meluas dalam bentuk yang uniform, sukar memberikan
hasil yang memuaskan.
Melakukan pembangunan bagi masyarakat perlu
memperhatikan kondisi dan karakter kehidupan masyarakat, yang nyata-nyata
berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, antara satu desa dengan desa
yang lain. Cara-cara yang diseragamkan tidak dapat efektif pada
masyarakat, karena tidak memperhatikan dan mengakomodasikan dengan baik,
perbedaan-perbedaan dalam hal tradisi, tipe wilayah, kekuatan adat, cara hidup,
keadaan fisik, lingkungan dan lain-lain (Maskun , 1992).
Strategi pembangunan
pertanian pada periode PJPT II dan terutama pada REPELITA VI diarahkan pada upaya mewujudkan pertanian yang
tangguh, maju dan efisien yang dicirikan oleh kemampuannya dalam
mensejahterakan petani, pekebun, peternak dan nelayan. Tujuan tersebut dicapai melalui empat usaha pokok pembangunan
pertanian yaitu diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi.
Setiap kegiatan pembangunan,
termasuk pembangunan pertanian adalah dimaksudkan untuk dapat memperbaiki taraf
kehidupan masyarakat.Peningkatan produksi dan produktivitas
pertanian semata-mata bukanlah merupakan jaminan bagi tercapainya hal tersebut.
Agar kesejahteraan petani menjadi lebih baik mereka perlu memperoleh pendapatan
yang lebih besar. Produksi yang tinggi tanpa adanya jaminan pemasaran yang baik
untuk produk yang dihasilkan tersebut, tidaklah akan menambah pendapatan
petani, sebaliknya bahkan dapat membuat petani kehilangan bagian dari
perolehannya dalam bentuk jatuhnya harga jual produk akibat kemampuan petani yang
rendah untuk mengakses pasar.
Salah satu ciri dari pertanian di Indonesia
adalah pemilikan lahan pertanian yang sempit, sehingga dengan demikian
penguasaan pertanian di Indonesia dicirikan oleh banyaknya rumah tangga tani
yang berusaha tani dalam skala kecil. Akibatnya petaninya sebagian besar adalah
petani-petani kecil.
Petani kecil di Indonesia dicirikan oleh
karakteristik sebagai berikut :
- Petani yang pendapatannya rendah,
yaitu kurang dari 240 kg beras perkapita pertahun.
- Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu
kurang dari 0,25 ha lahan sawah di Jawa atau 0,50 ha
di
luar Jawa.
- Petani yang kekurangan modal dan memliki
tabungan yang terbatas.
- Petani yang kurang berpengetahuan dan
kurang dinamik.
Dalam banyak kenyataan, keadaan petani
kecil di negara-negara berkembang adalah beragam, namun tetap pada penguasaan
sumber daya yang terbatas.Seorang petani kecil umumnya memiliki tingkat
pendapatan dan penghasilan yang kecil dan jauh dari cukup untuk membiayai berbagai
kebutuhan hidup yang layak. Namun demikian, walaupun pendapatan dan
pengahasilan mereka jauh di bawah tuntutan kehidupan modern, bagi mereka
tampaknya tidak terlalu mengganggu, terutama selama mereka masih bisa memenuhi
kebutuhan dasar hidup mereka seperti, sandang, pangan dan papan. Meskipun
sebenarnya pemenuhan ini masih dalam kualifikasi yang jauh di bawah standar dan
jauh untuk bisa dikatakan kesejahteraan hidup mereka telah tercapai.
Mengingat sifat dasar perekonomian petani
yang bermukim di pedesaan, maka kendala yang dihadapi untuk meningkatkan
produktivitas dan pendapatan adalah:
1. Modal
yang dimiliki relatif kecil.
2. Sifat-sifat
alami yang dimiliki oleh sumber daya alam, seperti sifat fisika dan kimia
tanah, kemiringan tanah/lahan, curah hujan, sarana pengairan.
3. Teknologi
yang tersedia masih bersifat sederhana.
4. Status
penguasaan lahan, karena petani tidak selalu berstatus sebagai pemilik lahan.
5. Luas
lahan yang diusahakan yang relatif sempit.
Hal ini seringkali menjadi kendala-kendala
yang signifikan untuk peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Petani
berlahan sempit seringkali tidak dapat menerapkan usaha tani yang intensif,
karena selain modalnya sangat terbatas, juga bagaimanapun ia harus melakukan
kegiatan-kegiatan lain di luar usaha taninya.
Masalah lain yang menonjol pada
perekonomian rakyat di pedesaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan masih
rendahnya produktivitas usaha tani. Produktivitas tersebut pada dasarnya sangat
tergantung dari potensi dan sumber daya (alam dan manusia) yang tersedia dan
aktivitas kelembagaan yang ada.
Sebagian besar penduduk yang tinggal
dipedesaan hidup dari sektor pertanian, baik pertanian pangan, perkebunan,
perternakan maupun perikanan dalam skala kecil, ini dicirikan dengan sempitnya
lahan garapan dan modal yang terbatas. Penggunaan saprodi pada tingkat rendah,
sehingga seringkali produktivitas dari usaha tani mereka rendah, mengakibatkan
pendapatan yang diharapkan sangat kecil dan ini akan menghambat petani meraih
kehidupan yang kesejahteraannya baik.
Kemiskinan terjadi karena penguasaan sumber
ekonomi rendah akibatnya kemampuan produksi rendah dan produktivitaspun rendah.
Rendahnya produktivitas berakibat rendahnya pendapatan dan karena itu ia miskin.
Oleh karena itu untuk mengentaskan kemiskinan perlu ada kebijaksanaan
pemerintah, misalnya berupa kredit yang diberikan kepada petani yang
memungkinkan bagi petani (termasuk golonangan miskin) untuk akses
padanya.Dengan tindakan ini dapat diharapkan produktivitas akan meningkat dan
pendapatan pun akan meningkat pula. Peningkatan pendapatan petani akan
memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengakumulasikan modalnya. Dengan
demikian produktivitas meningkat, pendapatan meningkat maka kesejahteraan petani
akan baik.
PERAN
PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI
Di dalam
literatur-literatur ekonomi pembangunan sering disebutkan bahwa ada tiga peran
pemerintah yang utama yaitu:
(1)
Sebagai pengalokasi sumber-sumber daya yang dimiliki oleh negara untuk pembangunan
(2)
Penciptaan stabilisasi ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter serta
(3)
Sebagai pendistribusi sumber daya.
Penjabaran
ketiga fungsi ini di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 33 UUD 1945 Amandemen
Keempat. Ayat (2) dan ayat (3) menyebutkan bahwa negara menguasai bumi serta
kekayaan alam yang dikandung didalamnya, serta cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan bagi hajat hidup orang banyak. Penguasaan ini
dimaksudkan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini
mengamanatkan kepada Pemerintah agar secara aktif dan langsung menciptakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya ayat (4) menyebutkan bahwa
perekonomian diselenggarakan atas dasar dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Ayat ini juga mengamanatkan kepada Pemerintah untuk menjaga dan mengarahkan
agar sistem perekonomian Indonesia berjalan dengan baik dan benar. Inilah yang
dinamakan peran pengaturan dari pemerintah. Inilah yang menjadi inti tugas
lembaga perencanaan dalam Pemerintah.
Pemerintah
juga dapat melakukan intervensi langsung melalui kegiatan-kegiatan yang
dibiayai oleh pemerintah, yang mencakup kegiatan-kegiatan penyediaan barang dan
layanan publik, melaksanakan kegiatan atau prakarsa strategis, pemberdayaan
yang tak berdaya (empowering the powerless) atau keberpihakan.
Perencanaan
Pembangunan Untuk Mencapai Tujuan dan Cita-Cita Nasional
Sejak
awal, para bangsa menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia didorong oleh
keinginan yang luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Mereka dengan
sadar bercita-cita agar pengelolaan pembangunan Indonesia dapat dilakukan
sendiri oleh putra-putri bangsa ini secara mandiri, merdeka, dan berdaulat.
Kedaulatan dalam mengelola pembangunan tentu berangkat dari keyakinan yang kuat
bahwa kita dapat melaksanakannya tanpa perlindungan dan pengawasan pihak asing.
Oleh
karena itu, pembangunan masyarakat untuk mencapai cita-cita kemerdekaan yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 haruslah diselenggarakan dengan seksama,
efektif, efisien, dan terpadu. Tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut adalah
keterlindungan, kesejahteraan, dan kecerdasan masyarakat, haruslah
terdistribusi secara adil.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembangunan
di era Reformasi ini merupakan suatu bentuk perbaikan di segala bidang sehingga
belum menemukan suatu arah yang jelas. Pembangunan masih tarik-menarik mana
yang harus didahulukan. Namun setidaknya reformasi telah membawa Indonesia
untuk menjadi lebih baik dalam merubah nasibnya tanpa harus semakin terjerumus
dalam kebobrokan moral manusia-manusia sebelumnya.
APA
YANG DIRENCANAKAN
Ada
dua arahan yang tercakup dalam perencanaan. Pertama, arahan dan bimbingan bagi
seluruh elemen bangsa untuk mencapai tujuan bernegara seperti tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945. Arahan ini dituangkan dalam rencana pembangunan nasional
sebagai penjabaran langkah-langkah untuk mencapai masyarakat yang terlindungi,
sejahtera, cerdas dan berkeadilan dan dituangkan dalam bidang-bidang kehidupan
bangsa: politik, sosial, ekonomi, budaya, serta pertahanan dan keamanan. Kedua,
arahan bagi pemerintah dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional baik melalui intervensi langsung maupun melalui pengaturan
masyarakat/pasar.
KONDISI
LINGKUNGAN STRATEGIS INDONESIA
Pertama,
secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Sebagai
negara kepulauan, kebijakan pembangunan akan berbeda dengan kebijakan yang
diterapkan di negara-negara kontinen atau daratan, karena masing-masing pulau
memiliki karakteristik geografis tersendiri dan kekayaan alam yang
berbeda-beda.
Di samping
keragaman geografis dan sumberdaya alam, masing-masing pulau didiami berbagai
suku bangsa dan kelompok etnis yang menyebabkan bangsa Indonesia memiliki
keragaman budaya yang sangat tinggi. Masing-masing kelompok etnis mulai
mengenal pendidikan modern tidak dalam waktu yang bersamaan. Hal ini
mengakibatkan pengalaman intelektual masing-masing etnis berbeda-beda dan
menyebabkan kemampuan sumberdaya manusia yang berbeda-beda pula.
Dengan
memperhatikan negara kepulauan, keragaman budaya, sosial, pendidikan, dan
ekonomi yang sangat tinggi; perubahan masyarakat; serta tuntutan keberlanjutan
maka sistem perencanaan pembangunan yang ada saat ini yang bersifat menyeluruh,
terpadu, sistematik, dan tanggap terhadap perubahan jaman.
DAFTAR PUSTAKA
·
2006. Public Expenditure
Statistical Analyses (PESA) 2006, published 15 May 2006.
·
Byung, Seo Yoo. 2005. Korea’s
Experience on Linking Planning and Budgeting.
·
During the Development Era and
Recent Reform. Ministry of Planning and Budget Republic of
Korea.
Seoul.
·
Djamaluddin, H. M. Arief. 2006.
Diktat Kuliah Perencanaan Pembangunan. Universitas
Borobudur. Jakarta.
· Krugman, Paul R., dan Obstfeld, Maurice. 2004.
Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan,
Edisi
Kelima, Jilid 1. PT Indeks Kelompok Gramedia. Jakarta.
· Staff of Asian Development Bank. 2006. Asian
Development Outlook 2006. Asian
· Staff
of the International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank.
2005. World Development Report 2006: Equity and Development. Oxford University
Press. New York.
· Wirasasmita, Yuyun. 2006. Catatan Kuliah Ekonomi Pembangunan.
Universitas Borobudur. Jakarta.
TULISAN
WAJIB SOFTSKILL
DISTRIBUSI DAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN
PEREKONOMIAN INDONESIA PADA ERA REFORMASI
NAMA NPM
ANA MARIA GENOVIVA 20211685
NUKE PERMATA SARI 25211270
PRANKI ROBIN PURBA 25211553
SILMI SABILLA 26211764
UNIVERSITAS GUNADARMA
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
Setiap
negara selalu berusaha mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk mencapai
tujuan tersebut, setiap negara melaksanakan pembangunan ekonomi. Salah satu
ukuran berhasilnya pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi. Hampir semua
negara di dunia pasti melaksanakan pembangunan ekonomi. Hal ini karena
pembangunan ekonomi merupakan upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan ekonomi merupakan usaha untuk menaikkan dan mempertahankan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dengan tetap memperlihatkan tingkat pertumbuhan penduduk disertai adanya perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Dalam proses pembangunan ekonomi, pemerintah secara sadar dan terencana mengadakan perubahan-perubahan ke arah peningkatan taraf hidup masyarakat.
Pembangunan ekonomi mencakup dimensi yang lebih luas, terpadu, dari berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain pembangunan ekonomi tidak hanya mengejar tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif, tetapi lebih menekankan pada perubahan yang mendasar dalam perekonomian suatu negara.
Pembangunan ekonomi merupakan usaha untuk menaikkan dan mempertahankan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dengan tetap memperlihatkan tingkat pertumbuhan penduduk disertai adanya perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Dalam proses pembangunan ekonomi, pemerintah secara sadar dan terencana mengadakan perubahan-perubahan ke arah peningkatan taraf hidup masyarakat.
Pembangunan ekonomi mencakup dimensi yang lebih luas, terpadu, dari berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain pembangunan ekonomi tidak hanya mengejar tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif, tetapi lebih menekankan pada perubahan yang mendasar dalam perekonomian suatu negara.
Pemerataan hasil pembangunan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Ketidakmerataan juga menjadi masalah dunia. Menurut data World Development Report 2006, 15,7% penduduk Indonesia pada tahun 1996 berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat menjadi 27,1 % pada tahun 1999. Gini Index untuk pemerataan penghasilan Indonesia adalah 0,34, hal ini menunjukkan adanya ketidakmerataan penghasilan yang cukup besar di Indonesia. Gini index merupakan ukuran tingkat penyimpangan distribusi penghasilan, Gini index diukur dengan menghitung area antara kurva Lorenz dengan garis hipotesis pemerataan absolut. Gini Index untuk pemerataan kepemilikan tanah di Indonesia mencapai 0,46, nilai ini menunjukkan adanya ketidakmerataan kepemilikan tanah yang cukup besar .
Pemerataan hasil
pembangunan di samping pertumbuhan ekonomi perlu diupayakan supaya pembangunan
dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemerataan pendidikan dan
pemerataan fasilitas kesehatan merupakan salah satu upaya penting yang
diharapkan meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dengan menciptakan sumber
daya manusia yang berkualitas.
BABII
ISI
ALOKASI APBN UNTUK DISTRIBUSI PEMERATAAN
A.SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA
Arti Sistem
Bahwa suatu sistem muncul adalah didasari oleh usaha manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebutuhan manusia sangat beragam dan tak terbatas. Sebagai contoh, kebutuhan manusi akan peningkatkan pengetahuan-muncul sistem pendidikan; kebutuhan manusia akan sandang, pangan atau papan-muncul sistem ekonomi; hubungan dengan orang lain akan terbentuk-sistem pengaturan, sistem sosial; kebutuhan untuk berkelompok dalam masyarakat tertentu-sistem masyarakat; dan kebutuahan akan kesejahteraan masyarakat-muncul sistem politik. Kemudian kebutuhan dari warga negara dalam mengatur-tatanan kehidupan berbangsa dan keputusan-keputusan politik yang diilhami oleh struktur sosial dan culture, akan terbentuk suatu sistem pemerintahan negara.
Untuk itu dalam suatu sistem sosial (mekanisme jaringan-hubungan dalam suatu atau yang dianut masyarakat) akan membentuk suatu sistem pemerintahan dan sistem ekonomi suatu bangsa.
Sistem adalah seperangkat elemen yang membentuk suatu kegiatan (satu kesatuan yang menyeluruh) yang saling berinteraksi secara teratur-berhubungan satu dengan yang lain dan saling tergantung untuk mencapai tujuan bersama.
Perkembangan Sistem Perekonomian
Tujuan dari sistem perekonomian merupakan usaha untuk mengatur pertukaran barang dan jasa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena politik ekonomi merupakan bagian politik nasional, maka dalam hal ini kebijakan politik sering didasarkan pada masalah ekonomi, dan kebijakan ekonomi seringkali didasarkan pada masalah politik.
1. Perkembangan sistem politik dan pemikiran ekonomi
Struktur sosial feodal-kekuasaan raja-bangsawan yang absolut-diktaktor, menimbulkan kesengsaraan masyarakat. Dalam masyarakat yang demikian kebebasan berpikir masyarakat terpasung dan tertindas. Timbul pendobrakan terhadap kekuasaan raja yang absolut, ditandai dengan konsep kontrak sosial “social contract” yang salah satu asasnya adalah kesadaran bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung prinsip-prinsip keadalian yang universal, berlaku untuk segala zaman serta semua manusia. Munculah semangat kebebasan, persamaan dan persaudaraan.
Pada gilirannya mempengaruhi perubahan sosial dan cultural masyarakat, ditandai dengan adanya kebebasan berpikir yang berkembang amat pesat dan sangat mempengaruhi gagasan dalam kehidupan politik dan ekonomi.Bersamaan dengan berkembang konsep negara baru timbul kebutuhan untuk mengatur kehidupan ekonominya.
Pada awalnya muncul Renaissance (1350-1600) dan reformasi (1500-1650), lalu aufklaerung “pencerahan” (1650-1800). Kemudian pada abad ini muncul pemikiran ekonomi merkantilisme “negara makmur-emasnya banyak-keuangan kuat sebagai simbul kekayaan dan kemakmuran” yang memunculkan kolonialisme, dimana negara kuat secara ekonomi apabila negara lain miskin.1776 muncul faham psyokrat oleh Quesney bersamaan dengan Adam Smith yang menentang gagasan merkantilisme-kolonial dan feodalisme dan yang menentang hambatan-hambatan pemerintah. David home dan David Ricardo dengan faham ekonomi produksi-konsumsi-pertukaran/ perda-gangan yang mendukung semangat “laizzez faire, laizzer passer”-identik dengan kebebasan-kebutuhan, muncul faham dan sistem kapitalisme.1818-1883, Karl Marx yang menentang ajararn kapitalisme-penindasan rakyat kecil dan buruh. Pandangan Marx terhadap negara bahwa negara itu hanya alat untuk menindas-mengatur kelas lainnya. Perlu adanya revolusi masa-sosialis/komunis untuk pemerataan hak dan kewajiban.
Pemikiran-pemikiran dibidang ekonomi akan mempengarui bentuk-bentuk pemerintahan. Yang kemudian berkembang faham demokrasi.
2. Pembagian sistem ekonomi
Sistem menunjuk kepada suatu kumpulan tujuan, gagasan, kegiatan yang dipersatukan oleh beberapa bentuk saling hubungan dan adanya ketergantungan yang terartur dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Sedang sistem perekonomian adalah sistem sosial atau kemasyara-katan dilihat dalam rangka usaha keseluruhan sosial itu untuk mencapai kemakmuran.
Dalam pengertian sistem sosial terkandung unsur :
a. Tujuan bersama dengan segala harapannya, dalam hubungannya dengan perekonomian, jelas tujuan bersama itu dimaksudkan ialah kemakmuran masyarakat.
b. Seperangkat nilai yang melekat pada tujuan bersama tersebut menciptakan pengikat yang mempersatukan anggota masyarakat dalam usaha bersama menurut cara-cara tertentu.
c. Sikap dasar dan pengertian tentang hak dan kewajiban, yang membentuk pola tingkah laku dan tindakan individu maupun kelompok satu dengan yang lain.
d. Otoritas, kepemimpinan, struktur kekuasaan untuk mengarhkan usaha bersama, memilih atau menetapkan alternatif-alternatif bagi alat-alat yang dipergunakan dan mempersatukan seluruh anggota masyarakat untuk bersama-sama mempergunakan alat-alat tersebut.
Kemakmuran masyarakat terutama menyangkut kegiatan yang paling esensial dari kehidupan sistem, yaitu produksi barang dan jasa, dan bagaimana barang dan jasa itu didistribusikan diantara individu dan kelompok dalam masyarakat, dipertukarkan dan dikonsumsi, yang semuanya berkaitan erat dengan konsep pemilikan yang berlaku, kekuasaan pemerintahan negara dll.
Dalam pembentukan suatu sistem, tidak lepas dari pada pengaruh falsafah sosial pada sistem perekonomian. Falsafah sistem sosial disadari atau tidak diturunkan dari pandangan yang spesifik tentang manusia. Falsafah-falsafah itu dikenal dengan individualisme dan sosialisme.
Sistem perekonomian mengenal berbagai bentuk di berbagai negara sepanjang sejarah. Dalam klasifikasi ini tergantung pada cara bagaimana sistem itu membuat keputusan-keputusan dasar produksi, distribusi dan pertukaran serta konsumsi.
Selain faktor produksi, sistem ekonomi juga dapat dibedakan dari cara sistem tersebut mengatur produksi dan alokasi. Sebuah perekonomian terencana (planned economies) memberikan hak kepada pemerintah untuk mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi hasil produksi. Sementara pada perekonomian pasar (market economic), pasar lah yang mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi barang dan jasa melalui penawaran dan permintaan.
Alokasi dana pembangunan untuk pemerataan
pendidikan dan pemerataan fasilitas kesehatan akan lebih menjamin tercapainya
pemerataan dalam jangka panjang. Kebijakan alokasi dana untuk pendidikan dan
kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pemerataan pendidikan serta pemerataan
fasilitas kesehatan. Biaya pendidikan yang lebih murah dan tersedianya
fasilitas kesehatan yang lebih baik dan lebih terjangkau akan langsung
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Dalam bidang pendidikan , UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 secara tegas menyatakan
“Negara memprioitaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dari belanja Negara serta dari anggaran belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhna penyelenggaraan pendidikan nasional “Menurut definisi yang
berlaku umum , anggaran pendidikan adalah keseluruhan sumber daya baik dalam
bentuk uang maupun barang yang menjadi input dan dimanfaatkan untuk kepentingan
penyelenggaraan pendidikan . Segenap sumber daya tersebut bisa berupa investasi
untuk pembangunan prasarana dan sarana (gedung , sekolah ,ruang kelas ).Biaya
operasinal penyediaan buku dan peralatan serta gaji guru . Setiap komponen
sumber daya berkaitan langsung dengan keberlangsungan pelayanan pendidikan
sehingga harus dihitung dengan satu kesatuan pembiayaan pendidikan .
Namun kewajiban
konstituional pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%
dari APBN dan APBD berjumlah dipenuhi sepenuhnya hingga saati ini . Buktinya
APBN tahun 2008 yang telah disahkan pada Rapat Parnipira DPR menetapkan alokasi
anggaran pendidikan hanya 12 persen .Dalam RAPBN 2008 alokasi untuk anggaran
pendidikannya sebesar 12% jauh dibawah ketentuan UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 dan
UU No 20 tahun 2009 tentang Sistem Pendidikan Nasional , bahwa anggaran
pendidikan sebesar 20 persen . Formulasi anggaran pendidikan 20% kemudian
diutuskan oleh Pemerintahan dari DPR dalam UU 20/2003 tentang Sisdaas , bahwa
gaji pendidik dari biaya kedinasan tidak termasuk dalam anggaran 20% , bahwa
pemenuhan amanah konstitusi dengan cara bertahap seperti dalam penjelasan pasal
49 ayat 1 UU sisdiknas tidak dibenarkan .
Kenyataanya APBN
2007 pun tidak sesuai dengan amanah kontitusi Anggaran pendidikan masih berada
pada level 11.8% karenanya MK dalam Putusan No.026/PUUIV/2007 kembali
menegaskan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 menyangkut anggaran
pendidikan adalah bertentengan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat .Pemerintahan menangulangi kembali pelanggaran
konstitusi jadi dengan tidak tercapainya anggaran pendidikan 20%berarti
pemerintahan dan DPR bersama-sama mengaikan keputusan MK .
Rupanya keputusan MK
itu tidak mampu juga mengatakan kemauan politik para penentu kebijakan di
Negara ini . Pengabaian juga terjadi terhadap keputusan raker yang telah
disepakati antara komisi X DPR RI dengan tujuan terhadap keputusan rajer yang
telah disepakati antara komisi X DPR RI dengan tujuan mencari cabinet Indonesia
Bersatu , yaitu Menkra Kesra , Mendiknas , Menteri Dalam Negeri , Menteri Pendahayagunaan
dari Aparatur Negara .
Sementara itu
realisasinya tahun 2004 anggaran pendidikan masih sekitar 5.5% dari APBN atau
sekitar RP.20,5 Triliun . Dari meningkat menjadi Rp.24,6 Triliun tahun 2005 .
Pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9,7
persen dan dalam APBN 2007 anggaran untuk sector pendidikan hanya sebesar 11,8
persen dan APBN 2008 hanya mengalokasikan 12% nilai ini setara dengan
Rp.1,4Triliun dari total nilai anggaran Rp.854,6 triliun .
Alokasi dana untuk kesehatan yang hanya
2,3% dari pengeluaran pemerintah sangat kecil. Di negara maju alokasi dana
untuk kesehatan jauh lebih besar, Korea Selatan mengalokasikan 10,08%
pengeluaran pemerintah untuk kesehatan. Padahal fasilitas kesehatan yang lebih
merata dapat meningkatkan produktifitas sumber daya manusia.
Sumber daya manusia yang sehat akan
menghasilkan sumber daya manusia yang produktif. Dengan produktivitas yang
tinggi, suatu negara akan memperoleh keunggulan kompetitif (competitive
advantage) . Keunggulan komparatif dinamis dirintis oleh Michael E. Porter
(1990) dan Paul Krugman (1980).
Michael E. Porter menjelaskan bahwa dalam
era persaingan global, suatu bangsa/negara yang memiliki competitive advantage
of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki 4 faktor penentu
(attribute) yang digambarkan sebagai suatu diamond (diamond strategy). Michael
E. Porter menjelaskan bahwa tidak ada korelasi langsung antara 2 faktor
produksi yaitu sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang
murah, yang dimiliki oleh suatu negara yang dimanfaatkan menjadi keunggulan
daya saing dalam perdagangan internasional. Banyak negara di dunia yang jumlah
tenaga kerjanya yang sangat besar yang proporsional dengan luas negaranya
tetapi lemah dalam daya saing perdagangan internasional. Peran pemerintah
sangat mendukung dalam peningkatan daya saing selain faktor produksi yang
tersedia dalam berbagai kebijakan makronya, dalam hal ini menciptakan sumber
daya manusia yang berkualitas.
Bagi pembangunan ekonomi, kualitas buruh
adalah lebih penting, dengan mengadakan pemerataan pendidikan dan fasilitas
kesehatan diharapkan pekerja Indonesia lebih berkualitas dan produktif.
Produktifitas ini yang diharapkan mampu meningkatkan perekonomian. Sumber daya
manusia yang berkualitas juga diharapkan cepat menyerap penguasaan teknologi.
Melalui program pemerataan pendidikan dan fasilitas kesehatan akan menciptakan
sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu mendukung pembangunan. Sumber
daya manusia yang produktif merupakan modal yang paling menentukan dalam
keberhasilan pembangunan dalam jangka panjang.
PEREKONOMIAN DI INDONESIAIndonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi). Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini.
Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I (Era SBY- JK) =
(2004-2009)
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan
ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim
investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit
pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Menurut
Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi
kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah
revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Selain
itu, pada periode ini pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang
dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya PNPM Mandiri
dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang
ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal ini
disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan
ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di
SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi.
Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan
kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi
pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang
investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang
kondusif.
Namun,
selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada masa
keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi.
Sejak tahun
2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada tahun
2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi SBY
yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan kemudian ditambahkan
dengan pro environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan
dari 36,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya,
hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun
waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY yang pro growth yang
mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas dari
pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat yang
memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang tentu
saja banyak membuka lapangan kerja baru. Memasuki tahun ke dua masa
jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa master plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3 EI). Melalui
langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan Indonesia
sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara UsS
14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS
4,0-4,5 triliun.
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II (Era SBY–BOEDIONO) =
(2009-2014)
Pada periode
ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat kebijakan
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :
- BI rate
- Nilai tukar
- Operasi moneter
- Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu lintas modal.
Dengan
kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Hampir
tujuh tahun sudah ekonomi Indonesia di tangan kepemimpinan Presiden SBY dan
selama itu pula perekonomian Indonesia boleh dibilang tengah berada pada masa
keemasannya. Beberapa pengamat ekonomi bahkan berpendapat kekuatan ekonomi
Indonesia sekarang pantas disejajarkan dengan 4 raksasa kekuatan baru
perekonomian dunia yang terkenal dengan nama BIRC (Brazil, Rusia, India, dan
China).
Krisis
global yang terjadi pada tahun 2008 semakin membuktikan ketangguhan
perekonomian Indonesia. Di saat negara-negara superpower seperti Amerika
Serikat dan Jepang berjatuhan, Indonesia justru mampu mencetak pertumbuhan yang
positif sebesar 4,5% pada tahun 2009.
Gemilangnya
fondasi perekonomian Indonesia direspon dunia internasional dengan menjadikan
Indonesia sebagai salah satu negara pilihan tempat berinvestasi. Dua efeknya
yang sangat terasa adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai rekor
tertingginya sepanjang sejarah dengan berhasil menembus angka 3.800. Bahkan
banyak pengamat yang meramalkan sampai akhir tahun ini IHSG akan mampu menembus
level 4000.
Indonesia
saat ini menjadi ekonomi nomor 17 terbesar di dunia. “Tujuan kami adalah untuk
menduduki 10 besar. Kami sangat optimistis karena IMF pun memprediksi ekonomi
Indonesia akan mengalahkan Australia dalam waktu kurang dari satu dekade ke
depan,” tutur SBY dalam sebuah acara.
PEMERATAAN PEMBANGUNAN
Pembangunan ekonomi nasional perlu mengedepankan aspek
pemerataan dan tidak hanya fokus pada mengejar target pertumbuhan ekonomi
(agregat). Tentunya, ketika pemerataan pembangunan ekonomi dapat dilakukan, maka
sejumlah persoalan seperti disparitas regional, urbanisasi, kemiskinan,
kesenjangan sosial dan persoalan sosial lainnya akan dapat lebih teratasi.
Peranan infrastruktur transportasi dalam pemerataan pembangunan sangatlah
penting. Jalan, jembatan, penerbangan perintis, pelabuhan dan transportasi laut
berperan sangat strategis untuk memfasilitasi mobilisasi barang, modal dan
manusia antar daerah-pulau di wilayah Indonesia. Bagaimana menggeser paradigma
pembanguanan nasional yang menitikberatkan kawasan Barat menuju Tengah dan
Timur Indonesia menjadi prioritas dalam pemerataan pembangunan ekonomi
nasional.
Urgensi pemerataan pembangunan ke seluruh penjuru Nusantara sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir ini telah semakin menguatkan sinyalnya. Bahkan di kawasan Barat Indonesia persoalan konektivitas masih berlangsung. Sebagai sebuah contoh aktual, antrean truk yang ingin menyeberang ke Pulau Sumatra mengular sudah hampir seminggu lamanya hingga sepanjang 2,5 kilometer di Tol Merak, Banten, menuju ke pintu gerbang pelabuhan. Berdasarkan informasi dari PT ASDP, antrean truk menuju Pelabuhan Merak tersebut disebabkan karena sedikitnya kapal pengangkut dan terbatasnya kapasitas pelabuhan untuk menampung antrean kendaraan angkutan.
Sementara itu, kemacetan sesungguhnya merupakan pemandangan rutin yang menghiasi seluruh jalan di Jakarta setiap pagi dan petang hari. Menurut sensus penduduk tahun 2010, Jakarta telah dihuni oleh 9.588.198 penduduk. Angka ini naik sangat drastis dari data tahun 2007 yang sebesar 7.552.444. Banyaknya pelaju dari Depok, Bekasi, Tangerang, Bogor, dan bahkan dari Cirebon yang bekerja di Jakarta menambah parahnya kemacetan di Ibu Kota. Kenyataan ini kian menguatkan betapa kuatnya gravitasi perekonomian Jakarta.
Secara sederhana, tingkat pembangunan di sebuah daerah berhubungan positif dengan akselerasi permintaan akan pembangunan lebih lanjut di daerah tersebut. Misalnya, gagasan pembangunan jalan Tol Tanjung Priok-Cikarang (Tanjung Karang) yang diprediksi bakal mampu mengurai kemacetan Jakarta hingga 30 persen. Sementara itu, jalur kereta api di Sumatra nyaris tak tersentuh peta transportasi nasional.
Akibatnya, daerah dengan tingkat pembangunan yang tinggi akan terus menuntut pembangunan lebih lanjut, sementara daerah yang tertinggal juga akan semakin tertinggal. Daerah-daerah satelit di sekeliling Jakarta selama ini tumbuh hanya sebagai wilayah domisili semata yang tidak diimbangi dengan pelebaran aktifitas perekonomian secara memadai. Pemusatan aktifitas perekonomian di Jakarta pun kian lama kian meningkatkan daya akumulasi sumberdaya perekonomian secara terkonsentrasi. Apabila konsentrasi sumberdaya ini semakin tinggi, maka biaya kesempatan untuk melakukan aktifitas perekonomian di luar Jakarta pun akan semakin meningkat.
Pada tataran nasional, potret Jakarta dan kota-kota satelitnya pun masih tercermin dengan jelas. Tak bisa dipungkiri bahwa kekuatan gravitasi ekonomi Jawa-Sumatra-Bali merupakan penyebab utama segala permasalahan tersebut. Hingga tahun 2005, BPS mencatat bahwa Pulau Jawa-Bali masih menyumbang 60.09 persen terhadap PDB Nasional. Adapun Sumatra 22,1 persen, Kalimantan 9,11 persen, Sulawesi 3,93 persen, Nusa Tenggara 1,42 persen, dan Papua 1,59 persen. Pada tahun 2010, kontribusi PDRB Jawa-Bali terhadap PDB nasional hanya turun dengan sangat tipis menjadi 59,38 persen, sementara peningkatan secara tipis juga tercatat pada Sulawesi menjadi 4,49 persen, Kalimantan 9,23 persen, Nusa Tenggara 1,44 persen, dan Papua 1,77 persen.
Namun demikian, data menunjukkan bahwa pos pendapatan daerah meningkat signifikan hanya di pos bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam (SDA). Perlu menjadi sebuah "early warning" dalam hal ini, yaitu apakah gravitasi ekonomi daerah ini menguat semata-mata karena intensifikasi eksploitasi SDA daerah ataukah karena kreatifitas yang mulai mewujud? Upaya menggenjot pendapatan melalui eksploitasi SDA, sebagaimana mewarnai perekonomian era Orde Baru, sudah tak layak lagi ditempuh. Sejumlah negara maju memberikan contoh yang baik bagaimana negara mereka dikembangkan melalui kebijakan industrialisasi yang bertahap dan terarah.
Sejalan dengan diskusi sebelumnya, kita perlu secara konsisten berupaya untuk membangun magnet-magnet perekonomian lain di daerah luar Jawa dan Sumatra. Magnet yang apabila dianalogikan dalam ilmu fisika selayaknya merupakan kumparan elektromagnetik yang digerakkan oleh pelaku-pelaku ekonomi daerah, dan bukan semata-mata mengandalkan kekayaan alam tanpah pengolahan. Dengan demikian, momentum peningkatan kontribusi PDRB luar Jawa-Sumatra-Bali terhadap PDB Nasional, setipis apapun itu, dapat dipandang sebagai secercah harapan bahwa potensi perekonomian daerah perlu dirorong untuk lebih berkembang. Hal ini juga dapat menjadi pencetus penguatan gaya gravitasi riil ekonomi daerah-daerah di luar Jawa-Sumatra-Bali.
Di samping pembangunan magnet-magnet perekonomian di daerah luar Jawa dan Sumatra, pembangunan konektivitas antar-wilayah domestik dalam menumbuhkan daya saing dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi merupakan langkah yang patut mendapat dukungan. Tujuan konektivitas domestik adalah mempercepat pertumbuhan perekonomian dan memperkecil disparitas antar-wilayah. Pembangunan magnet perekonomian di luar Jawa dan Sumatra dapat menjadi "pull factor" di daerah yang secara simultan bersinergi dengan konektivitas antar-wilayah sebagai katalis "push factor" dari Jawa-Bali.
Ketika berbicara masalah daya saing, selain infrastruktur, peningkatan kualitas tenaga kerja jelas berperan penting. Secara implisit namun tegas, hal ini merupakan amanat bagi kita semua bahwa perekonomian kita tidak boleh lagi menggantungkan diri pada kekayaan alam, serta harus dikelola berdasarkan daya kreatifitas dan penciptaan nilai tambah.
Pengembangan magnet perekonomian, konektivitas domestik, dan proses transformasi struktural dalam penciptaan nilai tambah harus didasarkan pada reorientasi kenyataan geografis Indonesia. Pembangunan jembatan Ampera di Sungai Musi sejatinya merupakan sebuah penanda betapa perekonomian Indonesia jauh-jauh hari telah diarahkan kepada perekonomian maritim. Dengan demikian, salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah agar upaya mewujudkan rencana-rencana di atas dilandaskan pada kesadaran bahwa Indonesia merupakan untaian kekayaan sumber daya alam dan ketahanan sumber daya manusia yang dihubungkan oleh lautan dangkal yang terkaya dan terluas di dunia. Oleh karena itu, mempercepat realisasi program konektivitas di dalam dan antar-pulau akan membuat kawasan Tengah dan Timur Indonesia akan lebih berkembang.
Urgensi pemerataan pembangunan ke seluruh penjuru Nusantara sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir ini telah semakin menguatkan sinyalnya. Bahkan di kawasan Barat Indonesia persoalan konektivitas masih berlangsung. Sebagai sebuah contoh aktual, antrean truk yang ingin menyeberang ke Pulau Sumatra mengular sudah hampir seminggu lamanya hingga sepanjang 2,5 kilometer di Tol Merak, Banten, menuju ke pintu gerbang pelabuhan. Berdasarkan informasi dari PT ASDP, antrean truk menuju Pelabuhan Merak tersebut disebabkan karena sedikitnya kapal pengangkut dan terbatasnya kapasitas pelabuhan untuk menampung antrean kendaraan angkutan.
Sementara itu, kemacetan sesungguhnya merupakan pemandangan rutin yang menghiasi seluruh jalan di Jakarta setiap pagi dan petang hari. Menurut sensus penduduk tahun 2010, Jakarta telah dihuni oleh 9.588.198 penduduk. Angka ini naik sangat drastis dari data tahun 2007 yang sebesar 7.552.444. Banyaknya pelaju dari Depok, Bekasi, Tangerang, Bogor, dan bahkan dari Cirebon yang bekerja di Jakarta menambah parahnya kemacetan di Ibu Kota. Kenyataan ini kian menguatkan betapa kuatnya gravitasi perekonomian Jakarta.
Secara sederhana, tingkat pembangunan di sebuah daerah berhubungan positif dengan akselerasi permintaan akan pembangunan lebih lanjut di daerah tersebut. Misalnya, gagasan pembangunan jalan Tol Tanjung Priok-Cikarang (Tanjung Karang) yang diprediksi bakal mampu mengurai kemacetan Jakarta hingga 30 persen. Sementara itu, jalur kereta api di Sumatra nyaris tak tersentuh peta transportasi nasional.
Akibatnya, daerah dengan tingkat pembangunan yang tinggi akan terus menuntut pembangunan lebih lanjut, sementara daerah yang tertinggal juga akan semakin tertinggal. Daerah-daerah satelit di sekeliling Jakarta selama ini tumbuh hanya sebagai wilayah domisili semata yang tidak diimbangi dengan pelebaran aktifitas perekonomian secara memadai. Pemusatan aktifitas perekonomian di Jakarta pun kian lama kian meningkatkan daya akumulasi sumberdaya perekonomian secara terkonsentrasi. Apabila konsentrasi sumberdaya ini semakin tinggi, maka biaya kesempatan untuk melakukan aktifitas perekonomian di luar Jakarta pun akan semakin meningkat.
Pada tataran nasional, potret Jakarta dan kota-kota satelitnya pun masih tercermin dengan jelas. Tak bisa dipungkiri bahwa kekuatan gravitasi ekonomi Jawa-Sumatra-Bali merupakan penyebab utama segala permasalahan tersebut. Hingga tahun 2005, BPS mencatat bahwa Pulau Jawa-Bali masih menyumbang 60.09 persen terhadap PDB Nasional. Adapun Sumatra 22,1 persen, Kalimantan 9,11 persen, Sulawesi 3,93 persen, Nusa Tenggara 1,42 persen, dan Papua 1,59 persen. Pada tahun 2010, kontribusi PDRB Jawa-Bali terhadap PDB nasional hanya turun dengan sangat tipis menjadi 59,38 persen, sementara peningkatan secara tipis juga tercatat pada Sulawesi menjadi 4,49 persen, Kalimantan 9,23 persen, Nusa Tenggara 1,44 persen, dan Papua 1,77 persen.
Namun demikian, data menunjukkan bahwa pos pendapatan daerah meningkat signifikan hanya di pos bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam (SDA). Perlu menjadi sebuah "early warning" dalam hal ini, yaitu apakah gravitasi ekonomi daerah ini menguat semata-mata karena intensifikasi eksploitasi SDA daerah ataukah karena kreatifitas yang mulai mewujud? Upaya menggenjot pendapatan melalui eksploitasi SDA, sebagaimana mewarnai perekonomian era Orde Baru, sudah tak layak lagi ditempuh. Sejumlah negara maju memberikan contoh yang baik bagaimana negara mereka dikembangkan melalui kebijakan industrialisasi yang bertahap dan terarah.
Sejalan dengan diskusi sebelumnya, kita perlu secara konsisten berupaya untuk membangun magnet-magnet perekonomian lain di daerah luar Jawa dan Sumatra. Magnet yang apabila dianalogikan dalam ilmu fisika selayaknya merupakan kumparan elektromagnetik yang digerakkan oleh pelaku-pelaku ekonomi daerah, dan bukan semata-mata mengandalkan kekayaan alam tanpah pengolahan. Dengan demikian, momentum peningkatan kontribusi PDRB luar Jawa-Sumatra-Bali terhadap PDB Nasional, setipis apapun itu, dapat dipandang sebagai secercah harapan bahwa potensi perekonomian daerah perlu dirorong untuk lebih berkembang. Hal ini juga dapat menjadi pencetus penguatan gaya gravitasi riil ekonomi daerah-daerah di luar Jawa-Sumatra-Bali.
Di samping pembangunan magnet-magnet perekonomian di daerah luar Jawa dan Sumatra, pembangunan konektivitas antar-wilayah domestik dalam menumbuhkan daya saing dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi merupakan langkah yang patut mendapat dukungan. Tujuan konektivitas domestik adalah mempercepat pertumbuhan perekonomian dan memperkecil disparitas antar-wilayah. Pembangunan magnet perekonomian di luar Jawa dan Sumatra dapat menjadi "pull factor" di daerah yang secara simultan bersinergi dengan konektivitas antar-wilayah sebagai katalis "push factor" dari Jawa-Bali.
Ketika berbicara masalah daya saing, selain infrastruktur, peningkatan kualitas tenaga kerja jelas berperan penting. Secara implisit namun tegas, hal ini merupakan amanat bagi kita semua bahwa perekonomian kita tidak boleh lagi menggantungkan diri pada kekayaan alam, serta harus dikelola berdasarkan daya kreatifitas dan penciptaan nilai tambah.
Pengembangan magnet perekonomian, konektivitas domestik, dan proses transformasi struktural dalam penciptaan nilai tambah harus didasarkan pada reorientasi kenyataan geografis Indonesia. Pembangunan jembatan Ampera di Sungai Musi sejatinya merupakan sebuah penanda betapa perekonomian Indonesia jauh-jauh hari telah diarahkan kepada perekonomian maritim. Dengan demikian, salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah agar upaya mewujudkan rencana-rencana di atas dilandaskan pada kesadaran bahwa Indonesia merupakan untaian kekayaan sumber daya alam dan ketahanan sumber daya manusia yang dihubungkan oleh lautan dangkal yang terkaya dan terluas di dunia. Oleh karena itu, mempercepat realisasi program konektivitas di dalam dan antar-pulau akan membuat kawasan Tengah dan Timur Indonesia akan lebih berkembang.
Tujuan
Perencanaan :
1.
Standar pengawasan, yaitu mencocokan pelaksanaan dengan perencanaan
2.
Mengetahui kapan pelaksanaan dan selesainya suatu kegiatan
3.
Mengetahaui struktur organisasinya
4.
Mendapatkan kegiatan yang sistematis termasuk biaya dan kualitas
pekerjaan
5.
Memimalkan kegiatan-kegiatan yang tidak produktif
6.
Memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai kegiatan pekerjaan
7.
Menyerasikan dan memadukan beberapa subkegiatan
8.
Mendeteksi hambatan kesulitan yang bakal ditemui
9.
Mengarahkan pada pencapaian tujuan
10.
Menghemat biaya, tenaga dan waktu
Manfaat
Perencanaan
Adapun
manfaat dari perencanaan yaitu Manfaat Perencanaan :
1. Standar
pelaksanaan dan pengawasan
2.
Pemilihan sebagai alternatif terbaik
3.
Penyusunan skala prioritas, baik sasaran maupun kegiatan
4.
Menghemat pemanfaatan sumber daya organisasi
5.
Membantu manajer menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan
6. Alat
memudahakan dalam berkoordinasi dengan pihak terkait
7. Alat
meminimalkan pekerjaan yang tidak pasti
http://tugaskuliah-adit.blogspot.com/2011/04/perencanaan-pembangunan.html
Dokumen
perencanaan
1. Di
dalam sistem ini terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menjabarkan
rencana pembangunan, yaitu:
2. Rencana
Pembangunan Jangka Panjang, yang selanjutnya disingkat RPJP, adalah dokumen
perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun. RPJP nasional diatur dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007.
3. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah, yang selanjutnya disingkat RPJM, adalah dokumen
perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun.
4. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga, disebut juga Rencana Strategis
Kementerian/Lembaga (Renstra-KL), adalah dokumen perencanaan
kementerian/lembaga untuk periode 5 (lima) tahun.
5. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah, disebut juga
Renstra-SKPD, adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk
periode 5 (lima) tahun.
6. Rencana
Pembangunan Tahunan Nasional, disebut juga Rencana Kerja Pemerintah (RKP),
adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun.
7. Rencana
Pembangunan Tahunan Daerah, disebut juga Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD), adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
8. Rencana
Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga, disebut juga Rencana Kerja
Kementerian/Lembaga (Renja-KL), adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga
untuk periode 1 (satu) tahun.
9. Rencana
Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah, disebut juga Rencana Kerja
Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD), adalah dokumen perencanaan satuan
kerja perangkat daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
1. Pentingnya Distribusi Pendapatan
Banyak kerusuhan yang terjadi di berbagai
bagian dari negara kita pada periode terakhir ini. Sebagian memang karena
dipanaskan oleh situasi penyelenggaraan pemilu. Namun kalau kita
perhatikan secara seksama, ada fenomena tindakan yang selalu muncul dalam
setiap kerusuhan tersebut, yakni mendompleng pada kerusuhan untuk mencoba
membuat redistribusi aset secara tidak sah. Toko-toko dihancurkan, dibakar
dan dilempari. Sebagian barang-barangnya diambil.Mobil dan kendaraan yang
mewah dihancurkan. Berbagai kejadian tersebut menimbulkan kerugian yang
sangat besar bagi bangsa dan negara, tidak hanya secara materi, bahkan untuk
kasus 23 Mei 1997 di Banjarmasin misalnya selain korban materi berupa kerusakan
berbagai toko supermarkat dan hotel berbintang, juga jatuhnya korban nyawa yang
tidak sedikit, sampai mencapai 123 orang (Banjarmasin Post, 31 Mei 1997).
Menurut beberapa ahli, akar permasalahan
dari berbagai kerusuhan tersebut adalah pada adanya gap yang semakin
menyolok antara golongan berpunya dan golongan tidak berpunya. Kesenjangan
pendapatan yang timbul sudah berada pada tingkat yang memerlukan
perhatian dan tindakan penanggulangan yang bersungguh-sungguh. Manifestasi
dari kesepakatan bangsa yang dahulu melalui MPR menempatkan pemerataan sebagai
skala prioritas utama dalam pembangunan, perlu lebih dinampakkan dalam
berbagai tindakan nyata yang mengena pada sasarannya. Upaya pengentasan
kemiskinan yang telah banyak berhasil dalam menghilangkan problema
kemiskinan absolut, perlu diarahkan lebih intensif untuk juga menyelesaikan
problema kemiskinan relatif.
Menurut Todaro (1985) distribusi pendapatan
makin tidak merata dari tahun ke tahun. Banyak orang yang berpendapat
bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat telah gagal menghilangkan atau mengurangi
kemiskinan , terutama dalam kaitannya dengan konsep kemiskinan relatif. Trade
off antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pendapatan kemudian
menjadi polemik dan perbedaan pandangan para ahli dalam merumuskan berbagai
kebijaksanaan pembangunan. Sampai kemudian pada tahun 1971, Mahbub Ul-Haq,
seorang ekonom Pakistan menawarkan konsep yang tampaknya bisa menjembatani
perbedaan pendapat tersebut. Mahbub menyatakan bahwa selama ini kita
diajari untuk memperbaiki GNP sebagai suatu cara untuk mengatasi
kemiskinan.Menurutnya, sebaiknya kita putar keadaan ini dengan menghilangkan
kemiskinan sebagai suatu cara untuk meningkatkan GNP (Mahbub Ul-Haq, 1971).
Pembangunan wilayah pedesaan dan
pemberdayaan masyarakat pedesaan merupakan merupakan suatu konsep yang sejalan
dengan pemikiran Mahbub tersebut, karena kantong-kantong kemiskinan pada
umumnya berada di pedesaan.
Teori ekonomi klasik berkeyakinan bahwa
dalam jangka panjang, mekanisme pasar akan menciptakan pembangunan yang
seimbang antar berbagai wilayah, namun Gunnard Myrdal tidak sependapat dengan
hal tersebut. Menurut Myrdal (1953) bahwa dalam proses pembangunan terdapat
faktor-faktor yang akan memperburuk perbedaan tingkat pembangunan antar wilayah
dan antar negara. Di samping ada juga faktor-faktor yang dapat
memperbaikinya. Keadaan seperti ini terjadi sebagai akibat berlakunya
suatu proses sebab akibat yang disebutnya sebagai circular cummulative
causation.
Menurut Myrdal, pembangunan di daerah-daerah yang lebih maju akan menciptakan beberapa
keadaan yang akan menimbulkan hambatan yang lebih besar kepada daerah-daerah
yang lebih terkebelakang untuk berkembang.Keadaan-keadaan yang menghambat
pembangunan ini digolongkannya sebagaibackwash effect. Di samping
itu perkembangan di daerah-daerah yang lebih maju dapat menimbulkan
keadaan-keadaan yang akan mendorong perkembangan daerah-daerah yang lebih
miskin. Keadaan ini dinamakan sebagai spread effect, atau disebut juga sebagai trickle down effect. Pemberdayaanmasyarakat
pedesaan dimaksudkan untuk mempengaruhi dan memanipulasi keragaan
faktor-faktor tertentu, sehingga menciptakan situasi dan kondisi yang dapat
mencegah terjadinya backwash
effect, dan sebaliknya mendukung terjadinya spread effect.
Menurut Sukirno
(1985) di antara faktor-faktor yang akan
menimbulkan backwash effect adalah
:
1) Corak
perpindahan perpindahan penduduk dari daerah miskin ke daerah yang lebih
maju. Pada umumnya penduduk yang berpindah adalah tenaga kerja yang lebih
muda, mempunyai semangat dan etos kerja yang lebih tinggi dan tingkat
pendidikan yang lebih baik daripada yang tetap tinggal di daerah miskin.
2) Corak
pengaliran modal. Pada umumnya permintaan modal di daerah miskin kurang,
selain itu modal lebih terjamin dan menghasilkan di daerah yang lebih maju.
Pola dan kegiatan perdagangan didominasi oleh industri-industri dari daerah
yang lebih maju. Ini menyebabkan daerah miskin mengalami kesukaran untuk
mengembangkan pasar bagi produk-produk yang dihasilkannya.
3) Jaringan
pengangkutan jauh lebih baik di daerah yang lebih maju, sehingga kegiatan
produksi dan perdagangan mereka dapat diselenggarakan secara lebih efisien.
4) Sedangkan
faktor yang mendorong terjadinya spread effect adalah berupa
pertambahan permintaan dari daerah yang lebih kaya terhadap produksi dari
daerah yang lebih miskin. Permintaan tersebut terdiri dari permintaan
terhadap hasil pertanian, hasil industri rumah tangga dan hasil industri barang
konsumsi.Hasil-hasil tersebut merupakan komoditas utama bagi daerah yang lebih
miskin.
Hanya saja sayangnya spread effect ini
biasanya jauh lebih lemah daripadabackwash effect. Oleh karenanya,
apabila dibandingkan tingkat pembangunan di pedesaan (yang relatif miskin)
dengan perkotaan (yang relatif maju), makapembangunan yang tercapai di daerah
pedesaan selalu lebih lambat daripada di perkotaan. Dalam jangka panjang,
keadaan ini dapat memperburuk pola distribusi pendapatan, baik antar wilayah
maupun antar golongan masyarakat.
Pembangunan perlu menghiraukan dan
memperhitungkan pola kehidupan yang sedang berlangsung di
masyarakat. Kondisi ini harus diberi nilai dan jangan sekali-kali diubah
dengan cara perombakan. Kondisi masyarakat setempat perlu dihargai, yaitu
dengan cara apresiasi. Penghargaan dan pemberian nilai pada kondisi
kehidupan masyarakat tersebut, adalah suatu cara menyukseskan pengembangan
potensi masyarakat sesuai dengan yang diidamkan. Nilai positif
diefektifkan dan dikembangkan, sedangkan nilai yang dipandang negatif diblokir,
dan secara perlahan dihilangkan. Sementara itu nilai baru (inovatif)
diperkenalkan untuk dihargai masyarakat sebagai nilainya sendiri (Maskun, 1992).
Komunitas masyarakat dengan berbagai
aktifitas dan dinamikanya, berintegrasi dalam sistem nasional melalui apa
yang dinamakan sebagai tatanan penghantar (delivering system) dan
tatanan peraih (acquiring system). Tatanan penghantar menyediakan berbagai
aspek yang meliputi antara lain Iptek, informasi, sarana, pinjaman modal,
pelayanan dan jasa, yang merupakan kebutuhan utama dari tatanan peraih, yakni
masyarakat target pembangunan (Adjid, 1995).
Agar tatanan peraih benar-benar mampu
memanfaatkan apa yang ditawarkan oleh tatanan penghantar, yang sesungguhnya
memang menjadi bagian dari haknya, maka diperlukan proses perubahan perilaku
masyarakat agar dapat beradaptasi dengan lingkungan stategisnya, melalui
proses learning by doingyang dijalankan secara sinambung, dari
waktu ke waktu. Untuk menuju ke arah proses learning by doing ini,
potensi masyarakat perlu dibangkitkan. Keinginan mereka untuk memperbaiki
kehidupannya perlu ditumbuhkembangkan agar menjadi pemicu yang kuat menumbuhkan
semangat kewirausahaan (enterpreneurship).
Solusi penyelesaian problema dan alternatif
pengembangan usaha yang ditawarkan perlu menyentuh kepentingan masyarakat yang
mendasar, yang dapat dirasakan manfaatnya. Karena itu pembangunan
haruslah (Flavier, 1992):
1. Bersifat
sederhana, kalau masyarakat kurang mengerti, atau sosialisasi suatu proyek
kurang dilaksanakan, maka proyek akan gagal sebelum dilaksanakan.
2. Bersifat
ekonomis, tercakup dalam pengertian ini adalah sesuai dengan kemampuan dan
sumberdaya yang dikuasai masyarakat, serta ada insentif ekonomi yang dapat
dipetik langsung dari proyek tersebut.
3. Bersifat
praktis, sehingga masyarakat mudah menerapkannya.
4. Harus
dapat ditiru, sehingga dapat dicontoh oleh yang lain. Proyek
yang eksklusif sulit memberikan dampak yang nyata bagi pembangunan secara
meluas.
Dalam era globalisasi di mana informasi
semakin dapat masuk mencapai pelosok-pelosok serta kontak antara individu dan
wilayah menjadi lebih gampang, tampaknya terdapat kecenderungan bahwa golongan
dan wilayah yang lemah akan semakin terbenam dalam kemiskinannya, karena kalah
dan terdesak dalam persaingan pemanfaatan sumberdaya yang ada dengan golongan
dan wilayah lain yang lebih kuat dan berpunya. Karena itu pembangunan desa
haruslah dijadikan orientasi utama. Pembangunan desa ini mengawali
fokusnya pada upaya-upaya untuk pemberdayaan sumberdaya manusia, yakni
masyarakat desa itu sendiri. Berbagai kemampuan mereka yang
masih bersifat potensial perlu dibangkitkan.
Banyak program yang telah dilaksanakan
untuk membantu masayarakat miskin di pedesaan, bahkan jauh sebelum program IDT
diterapkan. Namun banyak di antara program tersebut yang tidak mampu
menjangkau sasarannya secaratepat. Hayami dan Kikuchi (1991) menemukan
fakta bahwa ekonomi pedesaan cenderung terpolarisasi ke arah stratifikasi
masyarakat, yang membagi masyarakat menjadi dua kelompok utama. Kedua
kelompok ini sangat berbeda peluangnya untuk berpartisipasi dan menikmati
kegiatan-kegiatan pembangunan. Kelompok yang kuat, karena penguasaan dan
kemampuan sumberdaya yang dimilikinya lebih baik, akan dapat menangkap
peluang-peluang dan kesempatan berusaha yang lebih baik pula, sementara yang
lemah selalu tersisih dalam persaingan. Bahkan tidak jarang kelompok yang
kuat mengatasnamakan kelompok yang lemah untuk mengeruk keuntungan, seperti
misalnya yang sering terjadi dalam pemanfaatan fasilitas pelayanan kredit bunga
bersubsidi dan bantuan input untuk produksi pertanian.
Kejadian-kejadian tersebut sebenarnya dapat
dihindarkan kalau kendala untuk ikut memasuki (barrier to entry)
berbagai program bantuan bagi golongan masyarakat miskin dapat
diminimalkan. Bentuk kendala ini bermacam-macam, dapat berupa kendala
internal, yakni kendala-kendala yang muncul akibat kelemahan-kelemahan pada
individu golongan masyakarakat miskin, adapula yang berupa kendala eksternal,
yaitu kendala-kendala yang muncul dari luar, misalnya berupa prosedur yang
asing, adanya biaya transaksi, keharusan menyediakan jaminan, dan berbagai
bentuk lainnya yang menyulitkan bagi golongan tak
berpunya. Namun menurut Flavier (1992) berdasarkan pengalamannya
di beberapa desa di Filipina dalam mengintroduksikan programPhilippine Rural
Reconstruction Movement (PRRM), bahwa masyarakat pedesaan itu
potensinya besar untuk berkembang, namun karakteristik problema dan kemampuan
mereka untuk menyelesaikan problema tersebut sangat unik dan khas, sehingga
pendekatan program secara meluas dalam bentuk yang uniform, sukar memberikan
hasil yang memuaskan.
Melakukan pembangunan bagi masyarakat perlu
memperhatikan kondisi dan karakter kehidupan masyarakat, yang nyata-nyata
berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, antara satu desa dengan desa
yang lain. Cara-cara yang diseragamkan tidak dapat efektif pada
masyarakat, karena tidak memperhatikan dan mengakomodasikan dengan baik,
perbedaan-perbedaan dalam hal tradisi, tipe wilayah, kekuatan adat, cara hidup,
keadaan fisik, lingkungan dan lain-lain (Maskun , 1992).
Strategi pembangunan
pertanian pada periode PJPT II dan terutama pada REPELITA VI diarahkan pada upaya mewujudkan pertanian yang
tangguh, maju dan efisien yang dicirikan oleh kemampuannya dalam
mensejahterakan petani, pekebun, peternak dan nelayan. Tujuan tersebut dicapai melalui empat usaha pokok pembangunan
pertanian yaitu diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi.
Setiap kegiatan pembangunan,
termasuk pembangunan pertanian adalah dimaksudkan untuk dapat memperbaiki taraf
kehidupan masyarakat.Peningkatan produksi dan produktivitas
pertanian semata-mata bukanlah merupakan jaminan bagi tercapainya hal tersebut.
Agar kesejahteraan petani menjadi lebih baik mereka perlu memperoleh pendapatan
yang lebih besar. Produksi yang tinggi tanpa adanya jaminan pemasaran yang baik
untuk produk yang dihasilkan tersebut, tidaklah akan menambah pendapatan
petani, sebaliknya bahkan dapat membuat petani kehilangan bagian dari
perolehannya dalam bentuk jatuhnya harga jual produk akibat kemampuan petani yang
rendah untuk mengakses pasar.
Salah satu ciri dari pertanian di Indonesia
adalah pemilikan lahan pertanian yang sempit, sehingga dengan demikian
penguasaan pertanian di Indonesia dicirikan oleh banyaknya rumah tangga tani
yang berusaha tani dalam skala kecil. Akibatnya petaninya sebagian besar adalah
petani-petani kecil.
Petani kecil di Indonesia dicirikan oleh
karakteristik sebagai berikut :
- Petani yang pendapatannya rendah,
yaitu kurang dari 240 kg beras perkapita pertahun.
- Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu
kurang dari 0,25 ha lahan sawah di Jawa atau 0,50 ha
di
luar Jawa.
- Petani yang kekurangan modal dan memliki
tabungan yang terbatas.
- Petani yang kurang berpengetahuan dan
kurang dinamik.
Dalam banyak kenyataan, keadaan petani
kecil di negara-negara berkembang adalah beragam, namun tetap pada penguasaan
sumber daya yang terbatas.Seorang petani kecil umumnya memiliki tingkat
pendapatan dan penghasilan yang kecil dan jauh dari cukup untuk membiayai berbagai
kebutuhan hidup yang layak. Namun demikian, walaupun pendapatan dan
pengahasilan mereka jauh di bawah tuntutan kehidupan modern, bagi mereka
tampaknya tidak terlalu mengganggu, terutama selama mereka masih bisa memenuhi
kebutuhan dasar hidup mereka seperti, sandang, pangan dan papan. Meskipun
sebenarnya pemenuhan ini masih dalam kualifikasi yang jauh di bawah standar dan
jauh untuk bisa dikatakan kesejahteraan hidup mereka telah tercapai.
Mengingat sifat dasar perekonomian petani
yang bermukim di pedesaan, maka kendala yang dihadapi untuk meningkatkan
produktivitas dan pendapatan adalah:
1. Modal
yang dimiliki relatif kecil.
2. Sifat-sifat
alami yang dimiliki oleh sumber daya alam, seperti sifat fisika dan kimia
tanah, kemiringan tanah/lahan, curah hujan, sarana pengairan.
3. Teknologi
yang tersedia masih bersifat sederhana.
4. Status
penguasaan lahan, karena petani tidak selalu berstatus sebagai pemilik lahan.
5. Luas
lahan yang diusahakan yang relatif sempit.
Hal ini seringkali menjadi kendala-kendala
yang signifikan untuk peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Petani
berlahan sempit seringkali tidak dapat menerapkan usaha tani yang intensif,
karena selain modalnya sangat terbatas, juga bagaimanapun ia harus melakukan
kegiatan-kegiatan lain di luar usaha taninya.
Masalah lain yang menonjol pada
perekonomian rakyat di pedesaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan masih
rendahnya produktivitas usaha tani. Produktivitas tersebut pada dasarnya sangat
tergantung dari potensi dan sumber daya (alam dan manusia) yang tersedia dan
aktivitas kelembagaan yang ada.
Sebagian besar penduduk yang tinggal
dipedesaan hidup dari sektor pertanian, baik pertanian pangan, perkebunan,
perternakan maupun perikanan dalam skala kecil, ini dicirikan dengan sempitnya
lahan garapan dan modal yang terbatas. Penggunaan saprodi pada tingkat rendah,
sehingga seringkali produktivitas dari usaha tani mereka rendah, mengakibatkan
pendapatan yang diharapkan sangat kecil dan ini akan menghambat petani meraih
kehidupan yang kesejahteraannya baik.
Kemiskinan terjadi karena penguasaan sumber
ekonomi rendah akibatnya kemampuan produksi rendah dan produktivitaspun rendah.
Rendahnya produktivitas berakibat rendahnya pendapatan dan karena itu ia miskin.
Oleh karena itu untuk mengentaskan kemiskinan perlu ada kebijaksanaan
pemerintah, misalnya berupa kredit yang diberikan kepada petani yang
memungkinkan bagi petani (termasuk golonangan miskin) untuk akses
padanya.Dengan tindakan ini dapat diharapkan produktivitas akan meningkat dan
pendapatan pun akan meningkat pula. Peningkatan pendapatan petani akan
memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengakumulasikan modalnya. Dengan
demikian produktivitas meningkat, pendapatan meningkat maka kesejahteraan petani
akan baik.
PERAN
PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI
Di dalam
literatur-literatur ekonomi pembangunan sering disebutkan bahwa ada tiga peran
pemerintah yang utama yaitu:
(1)
Sebagai pengalokasi sumber-sumber daya yang dimiliki oleh negara untuk pembangunan
(2)
Penciptaan stabilisasi ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter serta
(3)
Sebagai pendistribusi sumber daya.
Penjabaran
ketiga fungsi ini di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 33 UUD 1945 Amandemen
Keempat. Ayat (2) dan ayat (3) menyebutkan bahwa negara menguasai bumi serta
kekayaan alam yang dikandung didalamnya, serta cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan bagi hajat hidup orang banyak. Penguasaan ini
dimaksudkan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini
mengamanatkan kepada Pemerintah agar secara aktif dan langsung menciptakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya ayat (4) menyebutkan bahwa
perekonomian diselenggarakan atas dasar dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Ayat ini juga mengamanatkan kepada Pemerintah untuk menjaga dan mengarahkan
agar sistem perekonomian Indonesia berjalan dengan baik dan benar. Inilah yang
dinamakan peran pengaturan dari pemerintah. Inilah yang menjadi inti tugas
lembaga perencanaan dalam Pemerintah.
Pemerintah
juga dapat melakukan intervensi langsung melalui kegiatan-kegiatan yang
dibiayai oleh pemerintah, yang mencakup kegiatan-kegiatan penyediaan barang dan
layanan publik, melaksanakan kegiatan atau prakarsa strategis, pemberdayaan
yang tak berdaya (empowering the powerless) atau keberpihakan.
Perencanaan
Pembangunan Untuk Mencapai Tujuan dan Cita-Cita Nasional
Sejak
awal, para bangsa menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia didorong oleh
keinginan yang luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Mereka dengan
sadar bercita-cita agar pengelolaan pembangunan Indonesia dapat dilakukan
sendiri oleh putra-putri bangsa ini secara mandiri, merdeka, dan berdaulat.
Kedaulatan dalam mengelola pembangunan tentu berangkat dari keyakinan yang kuat
bahwa kita dapat melaksanakannya tanpa perlindungan dan pengawasan pihak asing.
Oleh
karena itu, pembangunan masyarakat untuk mencapai cita-cita kemerdekaan yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 haruslah diselenggarakan dengan seksama,
efektif, efisien, dan terpadu. Tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut adalah
keterlindungan, kesejahteraan, dan kecerdasan masyarakat, haruslah
terdistribusi secara adil.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembangunan
di era Reformasi ini merupakan suatu bentuk perbaikan di segala bidang sehingga
belum menemukan suatu arah yang jelas. Pembangunan masih tarik-menarik mana
yang harus didahulukan. Namun setidaknya reformasi telah membawa Indonesia
untuk menjadi lebih baik dalam merubah nasibnya tanpa harus semakin terjerumus
dalam kebobrokan moral manusia-manusia sebelumnya.
APA
YANG DIRENCANAKAN
Ada
dua arahan yang tercakup dalam perencanaan. Pertama, arahan dan bimbingan bagi
seluruh elemen bangsa untuk mencapai tujuan bernegara seperti tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945. Arahan ini dituangkan dalam rencana pembangunan nasional
sebagai penjabaran langkah-langkah untuk mencapai masyarakat yang terlindungi,
sejahtera, cerdas dan berkeadilan dan dituangkan dalam bidang-bidang kehidupan
bangsa: politik, sosial, ekonomi, budaya, serta pertahanan dan keamanan. Kedua,
arahan bagi pemerintah dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional baik melalui intervensi langsung maupun melalui pengaturan
masyarakat/pasar.
KONDISI
LINGKUNGAN STRATEGIS INDONESIA
Pertama,
secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Sebagai
negara kepulauan, kebijakan pembangunan akan berbeda dengan kebijakan yang
diterapkan di negara-negara kontinen atau daratan, karena masing-masing pulau
memiliki karakteristik geografis tersendiri dan kekayaan alam yang
berbeda-beda.
Di samping
keragaman geografis dan sumberdaya alam, masing-masing pulau didiami berbagai
suku bangsa dan kelompok etnis yang menyebabkan bangsa Indonesia memiliki
keragaman budaya yang sangat tinggi. Masing-masing kelompok etnis mulai
mengenal pendidikan modern tidak dalam waktu yang bersamaan. Hal ini
mengakibatkan pengalaman intelektual masing-masing etnis berbeda-beda dan
menyebabkan kemampuan sumberdaya manusia yang berbeda-beda pula.
Dengan
memperhatikan negara kepulauan, keragaman budaya, sosial, pendidikan, dan
ekonomi yang sangat tinggi; perubahan masyarakat; serta tuntutan keberlanjutan
maka sistem perencanaan pembangunan yang ada saat ini yang bersifat menyeluruh,
terpadu, sistematik, dan tanggap terhadap perubahan jaman.
DAFTAR PUSTAKA
·
2006. Public Expenditure
Statistical Analyses (PESA) 2006, published 15 May 2006.
·
Byung, Seo Yoo. 2005. Korea’s
Experience on Linking Planning and Budgeting.
·
During the Development Era and
Recent Reform. Ministry of Planning and Budget Republic of
Korea.
Seoul.
·
Djamaluddin, H. M. Arief. 2006.
Diktat Kuliah Perencanaan Pembangunan. Universitas
Borobudur. Jakarta.
· Krugman, Paul R., dan Obstfeld, Maurice. 2004.
Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan,
Edisi
Kelima, Jilid 1. PT Indeks Kelompok Gramedia. Jakarta.
· Staff of Asian Development Bank. 2006. Asian
Development Outlook 2006. Asian
· Staff
of the International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank.
2005. World Development Report 2006: Equity and Development. Oxford University
Press. New York.
· Wirasasmita, Yuyun. 2006. Catatan Kuliah Ekonomi Pembangunan.
Universitas Borobudur. Jakarta.